Iklan

terkini

[Opini] Peran Perempuan Aceh dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia

Redaksi
Selasa, November 29, 2022, 16:52 WIB Last Updated 2022-11-29T09:52:57Z
Oleh:  Fadhilah Aini*)

Kemerdekaan adalah suatu kebebasan dari segala bentuk penjajahan atau kebebasan untuk berdiri sendiri. Indonesia ialah negara yang pernah dijajah oleh Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, serta Jepang. Dalam kurun waktu yang cukup lama, masyarakat Indonesia yang terpencar dalam berbagai pulau harus menyatukan pemikiran dan kekuatan dalam lingkaran kebersamaan, yang pada hakikatnya negara ini ialah milik rakyat Indonesia. Peristiwa sejarah mencatat, bukan hanya laki-laki, namun perempuan dan anak-anak ikut andil dalam mempertahankan tanah air. 

Menurut Nurul Jeumpa dalam tulisannya Peran Perempuan Aceh Pada Pendidikan dan Politik mengungkapkan, perempuan adalah keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia. Indonesia dengan kran demokrasi memberi kesempatan kepada siapa saja untuk berperan aktif mewujudkan tatanan kehidupan yang dinamis. Hal ini memberi peluang yang sama dalam melahirkan energi yang besar bagi sebuah perubahan, pencerahan dan perbaikan sistem tatanan kehidupan, termasuk juga gerakan perempuan-perempuan Aceh. 

Dalam khazanah doktrin Islam disebutkan, manusia adalah makhluk Allah Swt, yang dikirim kemuka bumi ini sebagai khalifah untuk mengembangkan tugas “memakmurkan bumi” dengan syariat-Nya. Ketika khalifah diartikan sebagai kekuasaan, maka untuk membentuk dan membangun sebuah kekuasaan, tidak mungkin berada dan dikuasai oleh orang lain. Karena  itu, rakyat Aceh (juga perempuan) harus mengambil peran dalam menyusun strategi kemerdekaan.  

Dalam sejarah kemerdekaan Aceh dan Indonesia terdapat deretan peristiwa yang tercatat perempuan hebat, yang memiliki semangat pantang menyerah, seperti pertama, Teuku Fakinah, salah seorang ulama wanita yang memimpin resinem dalam perang Aceh. Setelah peperangan selesai, dia membangun pusat pendidikan Islam. Dalam tubuh Teuku Fakinah mengalir dua unsur darah, darah bangsawan dan ulama sekaligus, dari ayah dan ibunya. 

Kedua, Ratu Safiatuddin. Dalam sejarah Kesultanan Aceh, ia menjadi pemimpin wanita pertama dengan masa kepemimpinn paling lama. Dalam tulisannya Strategi Sultan Safiatuddin Dalam Memimpin Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam, Sri Rahayu Puji Lestari, mengungkapkan strategi utama kepemimpinan Ratu Safiatuddin adalah mengangkap kedudukan perempuan, mengatur kegiatan ekonomi, megeluarkan mata uang dan membentuk lembaga-lembaga untuk mengatur kegiatan administrasi negara.   

Ketiga, Laksamana Malahayati. Dia seorang janda muda yang bergabung menjadi panglima Inongbale (Armada Wanita Janda).  Keempat, Cut Nyak Dien, yang memimpin jalannya perang  setelah suaminya Teuku Umar meninggal secara syahid di medan pertempuran.  Kelima, Pocut Baren, ialah pahlawan wanita yang memimpin perang melawan pasukan Belanda tahun 1898-1906. Dia rela terluka dan berdarah-darah  mempertahankan bentengnya hingga akhirnya dia ditawan musuh.  

Kaum perempuan dengan rahmat Alah dan di bawah risalah Islam dikembalikan pada kedudukannya yang mulia sebagai panglima keadilan dan pelindung Islam. Islam sendiri memberikan perhatian yang besar terhadap kaum perempuan,  memperhatikan, dan menempatkan perempuan pada tempat yang terhormat.  

Snouck Hurgronje mengakui, Aceh memiliki harga diri melebihi siapa pun. Perang Aceh melawan Belanda inilah yang membangunkan perempuan-perempuan Aceh untuk segera menunjukkan jati diri. 

Hielda Octaviani dalam tulisannya yang berjudul Tipologi Masyarakat Aceh Pada Perang Aceh-Belanda 1873-1942  mengemukakan, bahwa perang melawan Belanda bukan hanya sebagai eksistensi mempertahankan kerajaan semata, lebih dari itu dianggap sebagai perang suci melawan para penjajah yang bersifat mengganggu agama Islam dan tanah airnya, sehingga tidak heran jika hingga saat ini semangat para pejuang itu mengalir dalam darah perempuan Aceh. 

Peristiwa perjuangan kemerdekaan di Aceh dan Indonesia, membuat perempuan Aceh menjadi begitu kuat, bangkit, dan bergerak dengan realitas sosial dan mampu bersaing,  memiliki pengetahuan, dan memiliki pemahaman dalam mengelola ekonomi, sosial, politik dan budaya. 
 
Karena itu, setiap peristiwa sejarah perjuangan merupakan suatu kejadian atau peristiwa  yang sangat penting pada masa lampau dan meneruskan pengalaman bagi generasi yang akan datang. Mengetahui dan mengenal informasi sejarah kemerdekaan dan perempun Aceh merupakan hal penting bagi penerus bangsa, agar memiliki spirit bersaing di era globalisasi ini. 

Saat ini, berperang bukan hanya diartikan dengan saling serang menggunakan senjata, namun perempuan Aceh harus melawan kemalasan dan ketertinggalan. Harus siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan spritualitas. Perempaun Aceh sekarang harus lebih unggul dibandingkan dengan  generasi Fakinah, Safiatuddin, Malahayati, Cut Nyak Dhien, serta Pocut Baren. []

*) Penulis adalah Mahasiswi PPKN Universitas Syiah Kuala (USK) 
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • [Opini] Peran Perempuan Aceh dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia

Terkini

Topik Populer

Iklan