Ilustrasi. (int)
Jakarta – Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terungkap bahwa masih maraknya politik uang dalam gelombang pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Untuk itu LSI menyarankan untuk menghindari Pilkada brutal, untuk itu perlu aturan Pilkada yang implementatif, hal ini disebutkan dalam rilis yang diterima media ini dari LSI Minggu, (10/1/2021).
Gelombang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menyisakan sejumlah temuan menarik, terungkap dari data survei LSI yang melakukan survei pada 11–14 Desember 2020 sesaat begitu pesta demokrasi tersebut usai digelar di 270 wilayah di Indonesia.
Data survei tersebut dirilis hari ini melalui diskusi online/zoom, menghadirkan sejumlah nara sumber seperti Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan Ph.D, Prof. DR. Djohermansyah Djohan, MA (Guru Besar IPDN), Titi Anggraini, M.H (Dewan Pembina PERLUDEM), Burhanuddin Muhtadi, Ph.D (Peneliti Politik Uang) dan DR Rizka Halida (Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia).
Menurut Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, survei nasional untuk mengetahui evaluasi masyarakat tentang Pilkada 9 Desember 2020 dan fenomena politik uang di dalamnya.
Fokus survei terutama untuk melihat apakah pelaksanaan pilkada di masa wabah COVID-19 itu mengakibatkan rendahnya partisipasi pemilih, maraknya politik uang dan meningkatnya penyalahgunaan
bantuan sosial seperti dikhawatirkan banyak pihak.
“Temuan kita menunjukkan, bahwa kekhawatiran tersebut dalam pandangan masyarakat, tidak terjadi.
Partisipasi pemilih tetap baik yakni di kisaran 76%, meskipun itu tidak mencapai target pemerintah diatas
77,5%,” tegasnya saat mempresentasikan temuan survei tersebut.
Namun tambah Djayadi Hanan, politik uang tetap terjadi dan dialami warga, meskipun tidak terjadi peningkatan dibanding Pilkada di luar masa wabah.
Sedangkan proporsi bantuan sosial di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada juga tidak berbeda signifikan dibanding daerah yang tidak melaksanakan pilkada,
“Suatu indikasi bahwa bantuan sosial tampaknya tidak menjadi instrumen utama meraih suara pemilih,” ungkapnya.
Menurut Djayadi Hanan, menjelang Pilkada Serentak 9 Desember 2020 lalu, cukup banyak pula warga yang
mengaku mendapat tawaran uang atau barang (17%), atau mengetahui bahwa warga di lingkungan mereka
mendapat tawaran tersebut (20%).
Kemudian dari yang mendapat tawaran, cukup banyak yang terpengaruh uang atau pemberian yang ditawarkan tersebut (36%), meskipun tidak mayoritas. Mereka yang mendapat
tawaran terutama laki-laki, pemilih muda dan usia produktif, pendidikan dan ekonomi menengah kebawah, dan pemilih di pedesaan.
Menarik, temuan tentang pelaporan politik uang oleh masyarakat. Terkait hal ini, mayoritas pemilih (lebih
dari 85%) tidak tahu ada kanal pengaduan online jika terjadi politik uang. Dua yang cukup diketahui oleh mereka yang tahu (kurang dari 10%), yakni LAPOR! dan Saber Pungli.
“Hal ini menunjukkan masih sedikitnya sosialisasi cara melaporkan dugaan politik uang pada warga. Selain itu, upaya untuk mendorong partisipasi warga dalam melaporkan juga perlu dilakukan karena intensitas warga untuk melaporkan cenderung rendah,’
tegas Djayadi Hanan dalam paparannya.
Djayadi Hanan juga menyebutkan bahwa 67.4% masyarakat menganggap bahwa pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tersebut jurdil dan luber.
“Secara umum, pemilih pada umumnya juga setuju bahwa pemilu merupakan kesempatan untuk mengganti kepala daerah yang tidak memenuhi aspirasi rakyat dan untuk memilih pemimpin yang akan menawarkan kebijakan berguna bagi negara dan bangsa,” ujarnya.
Namun, menurut Djayadi Hanan, secara umum, pengalaman politik uang warga cukup tinggi. Ada sekitar 30.8% warga yang pernah ditawari uang/barang untuk memilih partai atau anggota legislatif, 26.5% pernah ditawari uang/barang agar memilih capres/cawapres tertentu, 25.6% pernah ditawari uang/barang agar memilih calon gubernur tertentu, dan 27.1% pernah ditawari uang/barang agar memilih bupati/walikota tertentu.
“Hal ini menunjukkan bahwa baik di level sikap maupun tingkah laku, warga cukup toleran terhadap politik uang dan pernah mengalaminya pada berbagai tingkatan pemilu. Dengan demikian, upaya untuk mensosialisasikan pemilu tanpa politik uang masih harus terus dilakukan;’ tambah Djayadi Hanan.
Sementara itu, dalam diskusi menanggapi temuan tersebut, Titi Anggraini, M.H (Dewan Pembina PERLUDEM) menyatakan, bahwa UU Pilkada dan aturannya sebenarnya sudah cukup baik. Aturan soal politik uang kita juga sudah paling bagus, ada hukuman yang jelas baik yang memberi maupun yang menerima. Bahkan, sampai diskualifikasi calon.
“Tapi hukum tidak pernah tepat janji, selalu ingkar janji, karena bukan burung merpati,” katanya.
Implementasi hukumnya sangat bergantung pada personel penegak hukum; sementara pengawas Pemilu kita tak punya instrumen penegakkan hukum itu. Instrumen hukum kita tanggung, karena personel pengawas Pemilu tidak sepenuhnya punya otoritas untuk cepat eksekusi. Di daerah-daerah yang ‘patrolinya’ intensif bisa menekan angka politik uang. Kalau tidak ada patroli, politik uang marak.
“Jadi, bagaimana kehadiran patroli langsung ini berefek pada politik uang. Perlu kehadiran simbolik pengawas, seperti kalau kita di jalan raya perlu kehadiran polisi lalin untuk tidak melanggar aturan,” katanya.
Menurut Titi, masih banyak anomali dalam penegakkan hukum politik uang kita. Instrumen hukum disediakan, tapi selalu ada disparitas dengan eksekusi atau penerapannya di lapangan. Lemah implementasinya. Diusulkan Titi, agar keserentakan pelaksanaan pilkada juga perlu dievaluasi kembali, khususnya di UU Kepemiluan yang sedang dibahas DPR (Pasal 201 Ayat 8 UU No 10Tahun 2016), agar Pilkada kita tidak makin brutal dengan politik uang.
“Saya menggunakan istilah Pak Burhan, ‘brutal’ dengan politik uang,” katanya.
Sementara itu menurut Prof. DR. Djohermansyah Djohan, MA (Guru Besar IPDN), Pilkada sangat penting
untuk fondasi bagi praktik demokrasi nasional. Oleh sebab itu Pilkada harus dilaksanakan sebaik mungkin.
“Musuh Pilkada itu politik uang,” tegasnya.
Karena itu, perbaikan-perbaikan format pelaksanaan Pilkada sangat mendesak dilakukan pemerintah juga legislatif. Temuan survei LSI ini bisa menjadi masukan berharga di tengah penyusunan UU Pilkada yang masih berlangsung. Termasuk soal format Pilkada yang asemetris/serentak itu.
Dalam kesempatan tersebut, peneliti politik uang Burhanuddin Muhtadi, mengusulkan perlunya definisi yang lebih operasional di dalam aturan Pilkada dan Pemilu di Indonesia, apa yang dimaksudkan dengan istilah ‘politik uang’.
“Kalau tidak tegas soal definisi itu, saya kuatir akan menjadi masalah dari sisi
penegakkan hukumnya. Atau dari sisi implementasinya,” tegasnya.
Menurut Burhanuddin Muhtadi, ada politik uang dalam istilah ‘vote buying’ yakni suara pemilih menjadi komoditas yang dipertukarkan agar terpilih; dan ada ‘gift giving’ dalam pengertian hadiah lazimnya difahami masyarakat Indonesia. Karena pada prakteknya para politisi dan kontestan sering menggunakan banyak istilah untuk menutupi praktek politik uang. Ada yang menyebut bisyarah (hadiah), uang rokok dan lainnya.
Selain itu, untuk kalangan akademisi, perlunya alat ukur yang tepat untuk mengukur praktik politik uang di
Indonesia. Karena banyak model yang dikembangkan, dan terus disempurnakan untuk bisa memberikan
informasi yang lebih lebih tepat lagi bagaimana praktik politik uang itu dilakukan.
“Ini tantangan juga untuk ilmuan politik kita,” tambah Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ini. [Rel]
Publisher: Hamdani