Laporan: Hamdani
Jakarta — Di sebuah ruangan sederhana di Jakarta Selatan, Rabu, 24 Desember 2025 kemarin, selembar surat penuh keprihatinan ditandatangani, dan terusannya diterima media ini pada Kamis, 25 Desember 2025. Bukan sekadar dokumen administratif, tetapi suara kegelisahan dan harapan masyarakat Aceh di perantauan yang terhimpun dalam Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda (PPTIM).
Surat itu ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak H. Prabowo Subianto. Isinya tegas, penuh empati, sekaligus mendesak: tetapkan status Darurat Bencana Nasional untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, serta segera bentuk Badan Pemulihan dan Pembangunan Pasca Banjir dan Longsor Sumatera.
Jeritan dari Lapangan
Ketua Umum PPTIM, Ir. H. Muslim Armas, bersama Sekretaris Umum Drs. H. Yusra Huda, Ak., MM, menegaskan bahwa laporan para relawan mereka di lapangan menggambarkan kondisi yang jauh dari kata pulih.
“Sampai hari ini, masih banyak wilayah yang terisolir, sulit dijangkau, dan masyarakatnya sangat membutuhkan bantuan untuk sekadar bertahan hidup,” tulis PPTIM dalam suratnya.
Di sejumlah daerah terdampak, masyarakat kehilangan rumah, sawah, ladang, ternak, tempat ibadah, sekolah, bahkan mata pencaharian. Banjir dan longsor bukan hanya merusak fisik wilayah, tetapi juga mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Aceh: Luka Lama, Ujian Baru
Dalam suratnya, PPTIM mengingatkan bahwa Aceh adalah wilayah pasca-konflik yang membutuhkan penanganan ekstra sensitif dan cepat. Keterlambatan penanganan bencana, menurut mereka, dapat menimbulkan persoalan sosial baru yang berpotensi mengganggu stabilitas.
Surat PPTIM untuk Presiden Prabowo. (Foto/Ist)“Apabila penanganan tidak dilakukan secara cepat, tepat, dan menyeluruh, situasi ini bisa dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab dan berisiko memperkeruh keadaan,” tegas mereka.
Karena itu, PPTIM mendesak agar pemerintah pusat tidak setengah hati menghadapi krisis ini.
Desakan Pembentukan Badan Khusus Pemulihan
Poin paling krusial dari surat tersebut adalah usulan pembentukan Badan Pemulihan dan Pembangunan (BPP) yang bekerja khusus dan terintegrasi menangani dampak banjir dan longsor.
Badan ini diusulkan diisi oleh para ahli, praktisi, tokoh masyarakat, putra-putri Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, agar kebijakan yang diambil benar-benar memahami karakter wilayah dan kebutuhan masyarakat.
Pendekatannya, menurut PPTIM, harus berbasis wilayah, bukan sekadar program seragam dari pusat.
Harapan di Ujung Surat
Di bagian akhir surat, tertulis harapan yang sederhana namun dalam:
“Kami atas nama masyarakat Aceh sangat berharap kepada pemerintah pusat agar dapat mempertimbangkan suara jeritan hati dari rakyat Aceh yang sedang galau dan berduka akibat bencana banjir dan longsor.”
Surat itu ditutup dengan doa dan harapan agar masyarakat terdampak dapat segera bangkit, menata kembali kehidupan, dan melangkah menuju masa depan yang lebih baik.
Di balik selembar surat itu, tersimpan ribuan cerita duka, kehilangan, dan juga harapan — bahwa negara benar-benar hadir saat rakyatnya dilanda bencana. []


