Oleh: Muhammad Hatta*)
Air kembali turun dari langit Aceh, tetapi yang tiba bukan sekadar hujan, melainkan sebuah malapetaka yang menyapu desa, kota, dan seluruh sendi kehidupan. Sebagai korban banjir di Lhoksukon, Aceh Utara, saya menyaksikan sendiri bagaimana gelap mengambil alih malam karena listrik padam; bagaimana suara ponsel menjadi sunyi karena sinyal menghilang; bagaimana jalur transportasi berhenti total sehingga bantuan tak sanggup menembus desa-desa yang terputus. Dapur umum tidak hadir, hanya keheningan dan kecemasan yang menemani puluhan ribu keluarga dalam dinginnya air yang merendam rumah-rumah kami. Ini adalah banjir yang jauh lebih dahsyat dibanding 2014 dan 2020, banjir kali ini meruntuhkan bukan hanya tembok, tetapi daya tahan batin masyarakat Aceh. Ini bukan lagi banjir musiman; ini adalah krisis kemanusiaan
Dua puluh satu tahun yang lalu, Aceh pernah diguncang dahsyat oleh tsunami 2004, gelombang yang meratakan pesisir, memutus jaringan energi, mematikan komunikasi, menghentikan moda transportasi, dan melumpuhkan seluruh fungsi pemerintahan daerah. Pada titik itu, Aceh tidak mungkin bangkit sendiri. Negara mengambil alih, dan Aceh ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Keputusan tegas itu menyelamatkan ratusan ribu nyawa dan memastikan bahwa pemulihan berlangsung cepat, sistemik, dan terkoordinasi. Kini, di tahun 2025, Aceh kembali berada dalam fase serupa: bukan oleh gelombang laut, tetapi “tsunami darat”. Banjir, longsor, luapan sungai, dan hujan ekstrem yang melumpuhkan sendi sosial dan ekonomi di banyak kabupaten/kota.
Bencana kali ini memiliki karakter multi-dampak: korban jiwa, masyarakat hilang, pengungsi dalam jumlah besar, rumah rusak, fasilitas umum runtuh, sekolah-sekolah tutup, jaringan listrik dan telekomunikasi terputus, harga-harga kebutuhan pokok melonjak, pelaku usaha kecil kehilangan pendapatan, dan infrastruktur dasar hancur. Sektor sosial dan pendidikan lumpuh; pasar-pasar tak berfungsi; layanan kesehatan kewalahan; anak-anak kehilangan ruang aman untuk kembali belajar. Inilah wujud dari bencana skala besar, sebuah krisis yang jelas-jelas melampaui kapasitas pemerintah daerah.
Karena itu, saya menaruh harapan besar pada kebijaksanaan Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan Aceh sebagai Bencana Nasional. Ini bukan sekadar permintaan emosional dari korban banjir, ini adalah seruan berbasis data, pengalaman empiris, dan pelajaran panjang sejarah Aceh. Penetapan status nasional berarti mengakui bahwa skala bencana telah melebihi batas kemampuan lokal; bahwa penderitaan rakyat Aceh bukan sekadar tragedi daerah, tetapi urusan negara.
Jika status Bencana Nasional ditetapkan, maka negara dapat mengerahkan seluruh kekuatan sumber daya nasional: mobilisasi personel TNI–Polri secara penuh, pengerahan peralatan berat lintas kementerian, pembukaan akses udara darurat, percepatan pembangunan jembatan bailey, operasi logistik massal, pendirian dapur umum terpadu, layanan kesehatan darurat berskala besar, serta aktivasi anggaran rehabilitasi-rekonstruksi nasional yang tidak bisa dijangkau oleh APBD. Selain itu, penetapan status nasional memastikan tata kelola pemulihan jangka panjang: pembangunan kembali rumah, sekolah, puskesmas, jalan nasional, jembatan strategis, serta dukungan pemulihan ekonomi masyarakat dalam bentuk bantuan usaha, subsidi, dan stimulus.
Lebih jauh lagi, penetapan ini menjadi pernyataan moral negara: bahwa ketika rakyat berada dalam titik paling rapuh, negara tidak berdiri sebagai penonton, tetapi hadir sebagai pelindung dan penggerak pemulihan. Dalam situasi Aceh hari ini, listrik padam, jalur terputus, ekonomi berhenti, sekolah lumpuh, dan ratusan ribu orang kehilangan ruang aman, kehadiran negara seperti itu bukan hanya penting, tetapi mendesak.
Aceh telah terlalu sering diuji sejarah, tetapi Aceh juga jangan dibiarkan menanggung beban ini sendirian. Dalam kondisi darurat kemanusiaan seperti ini, keputusan Presiden untuk menetapkan Aceh sebagai Bencana Nasional akan menjadi tonggak yang menentukan apakah rakyat Aceh dapat bangkit dengan cepat atau tenggelam dalam ketidakpastian berkepanjangan. Dari tengah kegelapan banjir yang saya alami sendiri, saya percaya bahwa inilah saatnya negara hadir sepenuhnya, bukan hanya dengan empati, tetapi dengan keberanian mengambil keputusan strategis yang menyelamatkan masa depan. []
Editor: Hamdani
*) Penulis adalah Korban Banjir Lhoksukon, Aceh Utara


