Oleh: Hamdani SE., MSM.*)
Di tengah harapan ribuan dosen ASN di bawah Kemendiktisaintek, respons Bang Togar terkesan tidak selaras dengan sikap resmi Menkeu.
Isu mengenai Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen yang tidak dibayarkan pada periode 2020–2024 kembali mengemuka setelah munculnya pernyataan Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek, Prof. Togar M. Simatupang—or yang akrab dikenal para dosen sebagai “Bang Togar”.
Alih-alih membawa angin segar, pernyataan tersebut justru menghadirkan ironi, terutama setelah Kementerian Keuangan melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas mengakui bahwa tunggakan tukin tersebut merupakan utang negara dan akan diselesaikan secara bertahap.
Di tengah harapan ribuan dosen ASN di bawah Kemendiktisaintek, respons Bang Togar terkesan tidak selaras dengan sikap resmi Menkeu. Jika Menkeu sudah mengakui adanya kewajiban negara dan berkomitmen menyelesaikannya, maka sangat janggal apabila pejabat tinggi di internal kementerian pendidikan justru menunjukkan penolakan atau ketidaksiapan menindaklanjuti pengakuan tersebut.
Kontradiksi Sikap: Menkeu Mengakui, Sekjen Menyangkal
Pada forum audiensi ADAKSI dengan Menkeu Purbaya, jawaban yang disampaikan sangat klarifikatif: tukin dosen yang tidak dibayar selama 2020–2024 adalah utang negara—poin krusial yang selama ini ditunggu para dosen. Pengakuan ini bukan hanya memberi kepastian hukum, tetapi juga moral. Negara mengakui kesalahan, negara mengakui hak dosen, dan negara bersedia melunasi.
Namun, tak berselang lama, pernyataan Sekjen Kemendiktisaintek justru disinyalir bertolak belakang. Alih-alih menyampaikan bahwa kementerian akan segera menyiapkan mekanisme teknis pencairan, beliau justru seperti ingin menutup ruang pembahasan dan menyampaikan nada penolakan.
Ini jelas menimbulkan tanda tanya besar:
Mengapa pejabat teknis di bawah kementerian justru lebih ‘keras’ menolak dibandingkan kementerian yang menanggung beban fiskal itu sendiri?
Tukin Dosen: Hak, Bukan Hadiah
Dosen ASN bukan sedang meminta belas kasihan. Tukin bukan hibah, bukan bonus, bukan pula sekadar “tambahan”—tukin adalah hak yang melekat pada jabatan, sebagaimana diatur dalam regulasi pemerintah. Ketika negara tak membayarnya, itu bukan sekadar keterlambatan administratif, melainkan kelalaian struktural.
Selama empat tahun, para dosen tetap bekerja, tetap melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetap mengabdi di tengah pandemi, tetap menjalankan tugas-tugas akademik yang semakin kompleks—bahkan beban kerja justru meningkat. Ironi semakin terasa ketika dosen diminta meningkatkan kualitas tata kelola, akreditasi, IKU, publikasi, dan berbagai indikator kinerja, tetapi hak dasarnya tidak kunjung diselesaikan.
Dampak Psikologis dan Moral di Kalangan Dosen
Sikap saling berbeda antara Menkeu dan Sekjen Kemendiktisaintek menciptakan ketidakpastian psikologis. Bagaimana mungkin sebuah kementerian meminta dosennya berinovasi, berprestasi, dan menunjukkan dedikasi, sementara kementerian itu sendiri tidak dapat menunjukkan integritas terhadap pemenuhan hak dasar pegawainya?
Dosen menuntut bukan untuk memperkaya diri, tetapi untuk mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan. Keteladanan moral pemerintah diuji ketika hak ASN diperlakukan dengan standar ganda.
S ironinya Ada di Mana?
Ironi dari “Bang Togar” tampak jelas pada tiga sisi:
1. Bang Togar menolak sesuatu yang Menkeu sudah akui sebagai kewajiban negara.
Ini menimbulkan kesan bahwa Sekjen tidak memahami atau tidak mengindahkan keputusan otoritas fiskal tertinggi.
2. Penolakan ini justru membuat Kemendiktisaintek tampak tidak solid dan tidak berpihak pada dosen yang dinaunginya.
Seharusnya kementerian pendidikan menjadi garda terdepan membela para akademisi, bukan menjadi penghalang.
3. Sikap tersebut mencoreng kredibilitas kementerian di mata publik akademik.
Ketika Kemenkeu bersedia menyelesaikan, justru Kemendiktisaintek yang tampak menghambat, sebuah potret ironi yang menyedihkan.
Saatnya Kemendiktisaintek Berpihak pada Dosen
Pernyataan Menkeu Purbaya harus menjadi dasar bagi semua kementerian dan lembaga, termasuk Kemendiktisaintek, untuk segera menyusun langkah-langkah teknis pencairan. Sikap defensif, apalagi penolakan, tidak sejalan dengan prinsip pelayanan publik modern.
Bang Togar semestinya tampil sebagai figur birokrat berintegritas, yang memfasilitasi, bukan menghalangi. Pernyataan beliau yang terkesan abai terhadap hak dosen dapat memperkeruh suasana dan menurunkan rasa percaya para akademisi kepada kementerian.
Bukan kali ini saja Bang Togar bersikap kontradiktif dan tak memihak dosen, tahun lalu di awal-awal perjuangan Tukin dosen, Bang Togar juga yang terdepan yang terkesan menolak dibayarkan Tukin dosen, bahkan sempat keluar pernyataan bahwa dosen bukan pegawai. Ada apa dengan Bang Togar?
Sebagai seorang petinggi di kementerian yang menaungi dosen ASN, harusnya menjadi garda terdepan dalam membela dan mendorong kesejahteraan dosen, ini yang terlihat kesannya malah justru sebaliknya. Padahal Bang Togar sendiri berlatar belakang dosen. Aneh dan kontradiktif.
Penutup: Hak Dosen Wajib Dibayarkan
Tukin dosen 2020–2024 adalah hak yang tertunda—dan negara telah mengakuinya. Maka, yang dibutuhkan hari ini bukan debat, bukan penolakan, bukan klarifikasi yang membingungkan, tetapi aksi konkret: menyusun mekanisme pembayaran, menyiapkan dokumen pendukung, dan memastikan hak dosen kembali ke tangan yang berhak.
Bang Togar dan jajaran Kemendiktisaintek harus menyadari bahwa legitimasi moral mereka di hadapan komunitas dosen ditentukan oleh bagaimana mereka memperjuangkan hak-hak tersebut. Ironi tidak boleh dibiarkan menjadi tragedi.
Dosen di seluruh Indonesia menunggu bukan kata-kata, tetapi realisasi. []
*) Penulis adalah Ketua DPW ADAKSI Aceh


