Pidie - Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Peutuah Mandiri mengapresiasi kinerja Penyidik Polres Pidie yang langsung menangkap pelaku terduga “rudapaksa” anak kandungnya sendiri berinisal T di salah satu desa di Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.
Akibat perbuatan bejat T tersebut, mengakibatkan anak anak kandungnya hamil 5 bulan saat ini. Perbuatan tersebut telah dilakukan kepada korban sejak Desember 2022 sampai 9 November 2023 yang lalu.
"Tindakan cepat Penyidik Polres Pidie patut dicontoh oleh sejumlah penyidik di polres dimanapun manakala berhadapan dengan kasus-kasus kekerasan seksual dengan anak tersebut tanpa terkecuali," hal ini diungkapkan Manager Kasus YBHA Vatta Arisva, SH. MH, melalui keterangan tertulisnya yang diterima media ini Sabtu, (09/12/2023).
Tambah Vatta Arisva hal ini guna menghindari terjadinya ancaman lanjutan terhadap para korban anak jika pelaku tidak segera dilakukan penangkapan.
"Banyak kasus kekerasan anak yang kami tangani akibat pengabaian penangkapan terhadap para pelaku, maka pelaku atau keluarga pelaku rentan melakukan intimidasi dan pengancaman lanjutan bagi korban. Sehingga dikhawatirkan keadaan psikis korban semakin tertekan dan sulit dalam pengungkapan fakta-fakta hukum yang sebenarnya," ungkap Vatta Arisva.
Tambahnya lagi, bahkan tidak jarang jika pengabaian penangkapan bagi para pelaku menyebabkan para pelaku ada yang sampai melarikan diri dan tidak dapat terdeteksi keberadannya lagi, sehingga hal tersebut justru sangat merugikan anak dan keluarga anak tersebut.
"Sudah menjadi mentalitas pelaku memang akan berkilah dan berasumsi dengan berbagai macam alasan perihal perbuatan yang telah dilakukan dan dituduhkan kepadanya," ujarnya.
"Akan tetapi tugas kita sebagai para pendamping dan penyidik yang harus bekerja sama dalam melakukan pembuktian, agar fakta hukum kasus tersebut dapat terang benderang," lanjutnya.
Menurutnya, kerja sama dan kolaborasi berbagai elemen dalam pengungkapan dan penganan kasus kekerasan seksual wajib intens dilakukan, agar peran masing-,masing pihak bisa bersinergi dalam memberikan perlindungan baik bagi anak-anak korban kekerasan seksual tersebut.
"Dalam kasus di Sigli ini, hak anak untuk dapat perindungan secara adil diperlakukan baik dan humanis perlu dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum dengan tetap mempertimbangkan hak anak dan mesti didampingi oleh psikolog anak dalam proses interogasi agar si anak bisa dengan tenang menceritakan kasus yang dia alami secara gamblang dan jelas," paparnya.
Karena menurutnya sudah menjadi pengalaman umum bahwa anak korban kekerasan seksual sering tertekan dalam pemeriksaan dan malu untuk mengulangi cerita yang dia alami tersebut kepada siapapun terlebih kepada aparat penegak hukum.
"Pemulihan psikologis si anak juga mesti segera dilakukan sejalan dengan proses hukum yang ditempuh. Hak anak untuk tetap mendapatkan pendidikan lanjutan juga mesti dipikirkan," terangnya.
Terlebih korban saat ini sedang kelas III SMA yang sebentar lagi mendekati Ujian Akhir Nasional. Disamping itu janin yang dikandung si anak juga mesti mendapatkan asupan gizi dan vitamin yang cukup, jangan sampai janin tersebut keguguran dan mesti diselamatkan. Karena jangan sampai kita membela anak tapi justru membunuh anak yang dikandung oleh korban anak tersebut.
"Kami mendesak lembaga pemerintah pemerhati anak di Sigli untuk secara intens mengawal kasus tersebut secara kontinyu agar letak perkaranya jelas dan pendampingan terhadap anak dapat berjalan secara maksimal," harap Vatta Arisva.
Menurut Vatta Arisva YBHA Peutuah Mandfiri yang saat ini sedang bekerja sama dalam program Spear bersama Nonviolent Peaceforce yang didukung oleh Kedutaan Besar Belanda di Indonsia tetap concerns dan fokus dalam mengawal kejadian-kejadian terkait kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.
"Kami melihat bahwa di tahun 2023 ini jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat pesat.
Mata rantai kekerasan seksual ini mesti kita putus. Pemahaman kepada para orangtua untuk selalu mengajak anaknya berdiskusi agar setiap permasalahan anak di sekolah ataupun dengan keadaan di lingkungan terdekat dapat segera diketahui oleh para orangtua dan tidak sampai berimbas berat baru orangtua tahu, seperti halnya kasus ini seandainya komunikasi dengan anak dapat dibangun inten dari awal maka tidak sampai anak mengalami kehamilan sampai 5 bulan baru terungkap fakta yang dialami si anak di setubuhi oleh orang terdekat dengan anak tersebut," bebernya.
"Semoga ke depan kita para orangtua dan masyarakat yang melihat keberadaan anak-anak di sekeliling kita untuk lebih peduli dan anak mesti di ajak bicara terkait permasalahan-permasalahan yang dihadapinya," pungkas Vatta Arisva. [Hamdani]