Iklan

terkini

[Opini] GPT-5 dan Gelombang PHK: Efisiensi Teknologi Harus Diiringi Tanggung Jawab Sosial

Redaksi
Rabu, November 19, 2025, 18:07 WIB Last Updated 2025-11-19T11:07:20Z
Oleh: Mariana, M.Si*)

Dunia kembali diguncang inovasi dengan peluncuran GPT-5, model AI yang mampu memproses teks, suara, dan visual secara real-time dengan kemampuan yang mendekati interaksi manusia. 

Namun, kemajuan ini beriringan dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di perusahaan teknologi global seperti Google, Amazon, dan TikTok. 

Ironisnya PHK ini justru terjadi disaat kinerja keuangan sebagian perusahaan tersebut menunjukkan tren positif. Fakta ini mengonfirmasi sebuah tren yang mencemaskan: AI tidak lagi sekadar asisten, melainkan mulai menggantikan peran-peran strategis di bidang customer service, pemasaran konten, hingga pemrograman tingkat awal.

Kemajuan Artificial Intelligence (AI) Generatif, dengan GPT-5 sebagai ujung tombak terbarunya, adalah sebuah keniscayaan yang tidak terbendung. Teknologi ini menjanjikan lompatan efisiensi yang fantastis, penurunan biaya operasional, dan peningkatan produktivitas yang eksponensial. 

Namun, di balik gempita janji "efisiensi" ini, tersembunyi sebuah paradoks yang mengusik nurani: perusahaan-perusahaan yang paling diuntungkan oleh teknologi ini justru tampak sedang melepaskan tanggung jawab sosial mereka dalam gelombang PHK yang masif.
Narasi yang sering digaungkan, "Upskill atau Tersingkir!", kini terasa semakin tidak adil dan mengawang-ngawang. 

Bagaimana mungkin seorang pekerja yang kompeten harus disalahkan karena tidak mampu berlari secepat evolusi algoritma? 

Gelombang transformasi ini datang terlalu cepat, menyasar bahkan mereka yang telah berkontribusi besar bagi perusahaan. Saat sebuah perusahaan meraup keuntungan berlipat berkat adopsi AI, ia memikul kewajiban moral untuk memitigasi dampak sosial yang ditimbulkannya.

Oleh karena itu, momentum ini harus menjadi titik balik. Alih-alih langsung melakukan PHK sebagai langkah pertama mengejar efisiensi, korporasi perlu merancang "masa transisi" yang lebih manusiawi dan beradab. 

Sudah saatnya perusahaan-perusahaan teknologi raksasa mengalokasikan sebagian dari keuntungan besar yang mereka peroleh dari AI untuk program reskilling dan upskilling yang masif, rotasi jabatan internal, serta investasi strategis pada sektor-sektor baru yang lahir dari revolusi ini. Langkah ini bukan sekadar filantropi, melainkan investasi jangka panjang untuk menciptakan ekosistem bisnis dan masyarakat yang stabil.

Efisiensi tidak boleh menjadi satu-satunya dewa yang disembah dalam altar kapitalisme teknologi. Jika paradigma ini terus dipertahankan, kita sedang menuju sebuah masyarakat dengan kesenjangan yang terpolarisasi: segelintir elit yang menguasai modal dan teknologi, berhadapan dengan lautan pengangguran terdidik yang tersisih. Peran pemerintah dan regulator pun menjadi krusial. 

Wacana untuk menerapkan "pajak robot" atau memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi pada pelatihan dan tenaga kerja manusia, harus segera dikaji secara serius.

Pada akhirnya, masa depan yang kita cita-citakan bukanlah pertarungan antara manusia versus mesin. Masa depan itu adalah tentang bagaimana kita, sebagai manusia, dapat memanfaatkan kecerdasan buatan sebagai alat untuk memperkuat, bukan menggantikan, potensi kemanusiaan kita. Kemajuan teknologi hanya bermakna jika ia mampu memajukan peradaban secara inklusif, menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial di garda terdepan. []

Editor: Hamdani

*) Penulis adalah dosen Program Studi Akuntansi Sektor Publik Jurusan Bisnis Politeknik Negeri Lhokseumawe 
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • [Opini] GPT-5 dan Gelombang PHK: Efisiensi Teknologi Harus Diiringi Tanggung Jawab Sosial

Terkini

Topik Populer

Iklan