
( Foto/Pribadi).
Lhokseumawe - Nawaffis Shafin salah seorang mahasiswa di Provinsi Aceh meminta para pihak, baik politisi maupun pejabat publik lainnya baik tingkat pusat maupun daerah agar sudah bisa berstatemen dengan komentar menyejukkan tidak berbicara yang bisa menimbulkan situasi memanas terkait masalah kasus 4 pulau di Singkil.
Hal ini karena kasus tersebut sudah mendapat tanggapan dari Presiden RI bapak Prabowo Subianto.
"Kita tunggu saja apa yang beliau janjikan akan selesaikan minggu depan",harap Shaffin.
Para politsi dan menteri di tingkat pusat agar dapat menghormati apa yang disampaikan bapak Presiden, ujarnya.
Kita sangat menyesalkan masih ada peryataan-peryataan dari pusat, seperti menteri Yusril Ihza Mahendra yang masih mempermasalahkan isi MOU Helsinki tentang batas Aceh.
Pemerintah seharusnya menghormati batas Aceh yang disepakati dalam Perjanjian Helsinki, harap Nawaffis Shafin.
Ia menganggap penyerahan empat pulau ke Sumatera Utara telah menodai perjanjian damai Aceh dengan Indonesia.
"Jangan mengeksploitasi Aceh itu dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan NKRI," kata Nawaffis.
Persoalan tersebut sempat memanas akibat peryataan-peryataan dari sejumlah pihak, kadang peryataannya bukan berdasarkan data dan fakta, tetapi hanya untuk tujuan-tujuan politis.
Perkara penguasaan pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara ini bermula ketika Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengatur tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau.
Lewat keputusan ini Kemendagri menetapkan Pulau Mangkir Besar, Lipan, Mangkir Kecil, dan Panjang masuk wilayah Sumatera Utara.
Menurutnya pemahaman bersama terhadap nota kesepahaman ini penting dioelajari oleh semua pihak khususnya Kemendagri sebagai pihak yang paling berwenang terhadap kasus ini, demi menjaga perdamaian Aceh yang sudah berjalan lebih kurang 20 Tahun.
Ia mengatakan sengketa ini bisa memantik perpecahan.
"Dengan situasi Aceh yang sudah sangat-sangat kondusif seperti ini, ada baiknya pemerintah pusat, terutama dalam hal ini adalah Mendagri dan pejabat terkait khususnya tingkat pusat untuk tidak memercik apa yang bisa menjadi hal-hal inkonsistensinya terhadap proses perdamaian Aceh," kata Nawaffis Shafin kepada wartawan.
Kita sangat menyesalkan peryataan Menteri Yusril Mahendra yang bisa menimbulkan pemahaman lain dari masyarakat Aceh.
Ironisnya, pengikisan ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, yang notabene adalah mantan Panglima Besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kehadirannya di kursi pemerintahan seharusnya menjadi simbol penguatan otonomi dan perdamaian, namun justru menjadi saksi bisu betapa rapuhnya janji-janji pusat di hadapan realitas kekuasaan.
Krisis ini juga mengancam rapuhnya kepercayaan pasca-konflik di Aceh. Otonomi khusus adalah hasil dari kompromi besar, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) "rela mengubur mimpi merdekanya menjadi otonomi khusus" demi perdamaian.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla salah seorang yang terlibat dalam proses perdamaian Aceh sydah menegaskan bahwa Keputusan Mendagri yang memindahkan pulau-pulau ini "cacat formil" karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang merupakan dasar hukum resmi pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mengatur batas wilayahnya, juga sesuai isi MoU Helsinki yang merujuk batas wilayah Aceh per 1 Juli 1956.[Zulkifli].