
Prosesi Peusijuk Jamaah Haji Gampong Bandar Bireuen Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen Tahun 2025 (Foto/Muliyadi)
Oleh: Anwar, S.Ag, M.A.P
Setiap kali musim haji tiba, suasana gampong di Kabupaten Bireuen terasa berbeda. Tak hanya karena deretan nama calon jamaah haji diumumkan lewat masjid atau mushalla, tapi juga karena satu tradisi khas Aceh kembali hidup: peusijuk.
Di tengah haru biru keluarga dan tetangga, peusijuk hadir sebagai simbol restu dan doa masyarakat kepada para tamu Allah. Prosesi ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Aceh. Namun, pertanyaannya: apakah kita masih memaknai tradisi ini secara utuh? Ataukah peusijuk hari ini hanya sebatas seremoni yang kehilangan ruh?
Makna Dalam di Balik Tepung Tawar
Peusijuk bukan sekadar adat. Ia adalah bahasa budaya yang menyatukan masyarakat. Tepung tawar, daun (on seunijuk), dan air yang suci dipercikkan bukan hiasan kosong, melainkan simbol pembersihan hati, harapan keselamatan, dan berkah sepanjang perjalanan haji.
Dalam konteks sosial, peusijuk mempertemukan warga dalam satu majelis doa. Di sinilah rasa persaudaraan tumbuh. Satu orang berangkat, satu gampong yang melepas. Bahkan, dalam beberapa kasus, masyarakat gampong ikut memberi sedekah keberangkatan jamaah haji yang kurang mampu. Ini bukti bahwa peusijuk lebih dari sekadar adat, ia adalah semangat kolektif masyarakat Aceh.
Identitas Kolektif yang Kian Tergerus?
Namun, belakangan ini, tradisi ini mulai bergeser. Alih-alih menjadi ruang spiritual dan sosial, peusijuk kadang berubah jadi ajang pamer kemewahan. Panggung besar, catering mewah dan undangan berdesain mahal mulai menjadi standar. Bahkan, ada keluarga yang merasa terbebani karena “malu” jika hanya menggelar peusijuk secara sederhana.
Ini ironis. Peusijuk yang lahir dari kesederhanaan dan niat suci, kini terancam kehilangan maknanya karena tekanan sosial. Jika dibiarkan, bukan tak mungkin generasi muda akan melihat tradisi ini sebagai beban, bukan warisan mulia.
Perlu Edukasi Budaya dan Kesadaran Kolektif. Sudah saatnya kita duduk bersama: tokoh adat, ulama, pemerintah gampong dan para pemuda. Peusijuk perlu dikembalikan ke rel aslinya sebagai bentuk doa bersama, bukan beban sosial.
Edukasi melalui khutbah Jumat, pengajian rutin, hingga konten media sosial bisa menjadi cara untuk menanamkan kembali makna peusijuk yang sebenarnya. Lebih penting lagi, kita perlu menormalisasi peusijuk sederhana. Karena bukan besar kecilnya acara yang menentukan keberkahan, tapi ketulusan niat dibaliknya.
Merawat yang Lama, Menyongsong yang Baru. Peusijuk adalah warisan Aceh yang penuh makna. Ia bukan hanya tradisi orang tua, tetapi juga milik generasi muda. Jika dirawat dengan bijak, tradisi ini bisa menjadi jembatan antara nilai budaya dan semangat zaman.
Di tengah derasnya modernisasi dan gempuran budaya luar, peusijuk menjadi pengingat bahwa kita punya cara tersendiri untuk menyambut momen-momen penting dalam hidup. Dan selama masih ada gampong yang percaya bahwa keberkahan dimulai dari doa bersama, selama itu pula peusijuk akan terus hidup, bukan hanya di halaman rumah, tapi di hati masyarakat Bireuen. []
*) Penulis adalah Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Bireuen