
Pemerintah pusat telah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran yang tentu berdampak pada kemampuan pelaksanaan program-program di daerah. Situasi ini menuntut pemerintah daerah untuk tidak lagi bergantung sepenuhnya pada dana transfer dari pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Otonomi daerah dan sistem desentralisasi menuntut daerah untuk mandiri secara fiskal melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
PAD adalah cerminan kekuatan ekonomi lokal. Namun, tantangan besar dalam optimalisasi PAD adalah keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur, serta masih adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, peningkatan PAD tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan perlu strategi jangka panjang yang berkelanjutan, terarah, dan adil.
Kunci utama adalah edukasi dan transparansi. Masyarakat harus paham manfaat pajak yang dibayarkan, dan pemerintah wajib menjamin keadilan vertikal (antara masyarakat dan pemerintah) maupun horizontal (antarwajib pajak). Pemanfaatan teknologi digital seperti e-tax dan e-retribusi juga harus digencarkan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sistem pungutan.
Selain itu, penguatan kapasitas aparatur pajak daerah dan pembentukan tim khusus pengawasan pajak akan memperkuat sistem koleksi PAD. Peran legislatif juga sangat penting untuk mengawal kebijakan fiskal yang adil dan memastikan tidak terjadi kebocoran anggaran.
Tak kalah penting, pemberian insentif dan disinsentif kepada wajib pajak harus dirancang agar dapat mendorong kepatuhan dan menghilangkan ketimpangan pungutan. Dengan langkah-langkah tersebut, daerah dapat menggali potensi PAD secara optimal dan melaksanakan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Kemandirian fiskal bukan hanya impian, tapi keharusan. Jika dikelola dengan benar, PAD dapat menjadi tulang punggung pembangunan daerah tanpa membebani masyarakat. []
Editor : Muliyadi
*) Penulis adalah Kadis Kominfo dan Persandian Bireuen