Iklan

terkini

[Opini] Kesyariahan BSI dan Wacana Revisi Qanun LKS

Redaksi
Rabu, Mei 24, 2023, 22:42 WIB Last Updated 2023-05-24T15:43:06Z
Oleh: Tgk. Ajidar Matsyah*)

Pemerintah Aceh dan DPRA adalah pemimpin bagi rakyat Aceh, jadi secara akidah dan syariah, kewajiban pemimpin eksekutif maupun legislatif melindungi rakyatnya dari transaksi ribawi, bukan justru mengundang bank ribawi (konvensional). 

Dalam beberapa hari terakhir ini, masyarakat Aceh dikejutkan dengan wacana Pemerintah Aceh  dan DPRA untuk melakukan revisi kembali terhadap Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh. 

Menguatnya wacana ini dilandasi dampak kerusakan (error) sistem layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang mengundang reaksi masyarakat Aceh beberapa waktu lalu.

Kasus yang menimpa BSI selama ini, setidaknya telah terjadi dua kali. Pertama, kegaduhan terkait BSI di Aceh pernah muncul saat masa-masa penggabungan tiga lembaga keuangan, yaitu Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah dan BRI Syariah, melebur menjadi BSI (Bank Syariah Indonesia). 

Saat itu, nasabah disibukkan dengan urusan pengalihan buku rekening, e-banking, ATM dan transaksi lainnya. Banyak pegawai yang dulunya bekerja dengan tenang di masing-masing bank (BNI Syariah, Mandiri Syariah, BRI Syariah), kehilangan pekerjaannya atau dipindahtugaskan ke tempat lain. 

Kebijakan ini tentunya merupakan kebijakan pemerintah pusat  di Jakarta, bukan menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Artinya, kegaduhan akibat peleburan ketiga bank tersebut menjadi BSI bukan diakibatkan oleh produk Qanun LKS, melainkan murni dari dampak kebijakan pemerintah pusat sendiri.

Kedua, kegaduhan terkait BSI di Aceh muncul akibat macetnya sistem layanan elektronik bank BSI yang banyak menimbulkan reaksi negatif nasabah terhadap eksistensi bank ini. 

Transaksi e-banking tidak normal, mesin ATM bermasalah, transaksi bisnis skala kecil dan besar terkendala, bisnis daring macet, pengusaha dan pebisnis merugi, sampai ibu-ibu yang bergerak di bisnis UMKM daring juga ikut merugi akibat kerusakan sistem BSI berhari-hari. 

Termasuk dampak pada  aktivitas transaksi dunia kampus. Sebagian mahasiswa tidak dapat melakukan pembayaran biaya  pendaftaran dan biaya SPP-nya. 

Jika dicermati lebih bijaksana, terjadinya kerusakan sistem bank  BSI di Aceh, bukanlah akibat dari qanun LKS, tetapi juga dikarenakan sistem bank BSI yang terkena serangan hacker melalui ransomware LockBit 3.0. Kelompok ini, bergerak secara global dan menyerang berbagai lembaga keuangan di dunia dengan ancaman pencurian data dan penyebaran virus.

Bercermin dari dua hal di atas, maka jelaslah persoalan yang menimpa BSI bukanlah diakibatkan oleh keberadaan Qanun LKS, tetapi murni terkait dengan persoalan manajemen dan keamanan teknologi BSI sendiri, sehinga menjadi pertanyaan, kenapa Qanun LKS yang harus direvisi dan mengembalikan bank konvesional? 

Ini merupakan hal yang tidak ada hubungannya sama sekali, sehingga rencana revisi Qanun LKS atas alasan tersebut diibaratkan dalam adagium Aceh dengan “meubalek cak meutuka cok”.

Kesyariahan BSI

Imbas serangan hacker terhadap BSI, secara sadar telah berdampak pada meluasnya komplain nasabah terhadap kesyariahan bank syariah yang beroperasi di Aceh. 

Berbagai reaksi miring terhadap bank syariah ini pun tidak dapat dihindari, baik bank BSI, Bank Aceh Syariah, BCA Syariah dan bank syariah lainnya. Sebagian masyarakat mengganggap bank syariah, dalam praktiknya sama saja dengan bank konvensional. 

Bahkan, lebih parah dari konvensional, rate-nya lebih tinggi dari bank konvensional; limit penarikan sangat terbatas; keterbatasan akses e-banking; terbatasnya mesin ATM; jangkauan yang tidak meluas ke daerah pedalaman; jaringannya terbatas dan tidak dapat bertransaksi di luar negeri; margin pinjaman lebih tinggi dan lebih mahal dari bank konvensional, dan berbagai anggapan dan tanggapan lainnya.

Semua respon miring masyarakat terhadap kesyariahan produk bank syariah, termasuk produk BSI, disebabkan oleh praktik internal dari bank-bank syariah itu sendiri. 

Jadi, bukan disebabkan oleh keberadaan qanun LKS. Maka, kurang tepat rasanya menghubungkan kasus di atas untuk dijadikan alasan untuk melakukan revisi Qanun LKS dan mengembalikan bank konvensional ke Aceh.

Posisi Pemerintah Aceh dan DPRA

Hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menghadapi kegaduhan masyarakat tentang BSI dan kesyariahan bank syariah di Aceh ialah mengadvokasi BSI, BAS dan bank syairah lainnya.  Apakah produk BSI, BAS dan bank syariah lainnya telah sejalan dengan prinsip qanun LKS atau tidak? 

Setidaknya, Lembaga Keuangan Syariah, baik BSI, BAS, BCA Syariah, maupun bank syariah lainnya yang beroperasi di Aceh, harus memenuhi tiga prinsip- prinsip dasar syariah:

Pertama, menjaga maslahan menghindari mafsadar. Prinsip dasar kesyariahan suatu syariat adalah mampu menjaga kemaslahatan masyarakat (nasabah) dan menghindari mafsadah (kerusakan) terhadap masyarakat secara umum, bukan menjaga kepentingan sekelompok orang atau orang tertentu.

Kedua, jaminan keadilan.  Prinsip dasar syariah dari keadilan ini artinya memberikan hak sesuai haknya atau porsinya. Tidak ada unsur diskriminasi dan intimidasi dalam pelayanan antara strata sosial masyarakat. 

Ketiga, tidak sulit dan tidak membebani. Prinsip dasar kesyariahan syariah ini artinya tidak sulit dan  tidak membebani alias ringan.  Meringankan merupakan prinsip utama dan sangat subtansial dalam setiap produk syariah.

Dari tiga prinsip di atas, jika produk bank syariah, BSI, BAS dan lainya belum memenuhi prinsip dasar syariah, maka  Pemerintah Aceh dan DPRA ni dengan perangkat DSA (Dewan Syariah Aceh) harus hadir untuk mencari solusi hal-hal tersebut, agar sesuai dengan prinsip syariah. 

Bukannya malah memaksa Qanun LKS harus mengikuti kehendak bank syariah, BSI, BAS dan lainnya. Bahkan, jika merujuk pada undang-undang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, seharusnya DSA, dapat ditingkatkan kewenangannya untuk dapat mengeluarkan fatwa terkait Lembaga Keuangan Syariah yang beroperasi di Aceh seperti halnya kewenangan DSN (Dewan Syariah Nasional). Disinilah DSA atas nama Pemerintah Aceh, memosisikan diri sebagai rujukan implimentasi prinsip-prinsip syariah di Aceh.

Pemerintah Aceh dan DPRA adalah pemimpin bagi rakyat Aceh, jadi secara akidah dan syariah, kewajiban pemimpin eksekutif maupun legislatif melindungi rakyatnya dari transaksi ribawi, bukan justru mengundang bank ribawi (konvensional). 

Tidak ada teori dalam Islam membiarkan  rakyat untuk memilih antara ribawi (haram) dan syar’i (halal), atau membuka peluang dual banking system (bank syariah dan bank konvesional). 

Hal ini sama saja dengan talbis baina la-haq wa al-bathil (mencampur adukkan antara yang hak dan batil) dan itu dilarang dalam Islam, sesuai dengan sumber Alquran: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya (QS Al-Baqarah: 42).”

Dalam kebudayaan masyarakat Aceh, persoalan ini mengingatkan kita dengan petuah lama, “Geupehareum Uleu, Geupeuhaleu Kiree”. Artinya, ular hukumnya haram dan belut hukumnya halal. 

Tidak boleh dicampuradukkan antara ular dan belut. Artinya, tidak boleh disatukan antara  halal dan haram. Sama halnya tidak boleh mencampur adukkan antara bank syariah dan bank konvesional. Posisi Pemerintah Aceh, gubernur dan DPRA adalah mandataris pelaksanaan  syariat Islam di Aceh. Wallahu ‘Alam. []

Editor: Sayed M. Husen

*) Penulis, adalah  Pimpinan  Dayah Tinggi Islam Samudera Pase, Baktiya Aceh Utara, Pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah (STIES) Baktiya Aceh Utara, dan  Dosen Siasah Syar’iyyah Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry,  Banda Aceh.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • [Opini] Kesyariahan BSI dan Wacana Revisi Qanun LKS

Terkini

Topik Populer

Iklan