Oleh: Tgk. Ikhram M. Amin, S.S, M.Pd*)
Aceh merupakan daerah yang diatur keistimewaannya dengan UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, selanjutnya diatur pula dengan qanun tentang syariat Islam. Karena itu, seharusnya di Aceh tidak ada lagi kemaksiatan dengan berlakunya dasar hukum tersebut. Apalagi dengan disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), maka Aceh sudah dapat mengatur sendiri dari segala sektor. Salah satunya untuk “menghadang” kemaksiatan yang dewasa ini merajalela, seolah-olah pemerintah mengabaikan amanah UUPA dan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Tak heran kita lihat dan baca di media masa baik elektronik maupun media cetak maraknya perzinaan.
Perzinaan atau pelanggaran syariat Islam telah dilakukan secara masif atau tersembunyi di hotel-hotel, di tempat-tempat kos. Hal ini kurang tersentuh oleh Pemerintah Aceh, maupun kabupaten/kota, karena bisa jadi keterbatasan pengawasan, finansial dan lain-lain. Akan tetapi, ini merupakan tanggungjawab kita secara moral, supaya Aceh tidak datang musibah yang kedua kali seperti tsunami dan gempa bumi.
Rasullulah SAW menyebutkan dalam matan hadisnya, “Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah dengan kekuasaan yang ada pada dirinya (pemimpin), apabila dia tidak mampu hendaknya dia mengubah keadaan dengan lisannya (menasihatinya) dan apabila juga tidak mampu, maka hendak dia mengubah dengan membenci perbuatan tersebut (dengan hatinya), dengan kata lain dia membenci dengan tidak ikut-ikut terhadap maksiat tersebut.
Dosa Besar
Ada beberapa dosa besar yang dibenci oleh Allah SWT salah satunya adalah zina yaitu melakukan hubungan seks yang belum ada ikatan nikahnya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak kudapati dosa besar setelah berbuat syirik kepada Allah, kecuali orang yang memasukkan benihnya ke dalam rahim yang belum ada kehalalannya (wanita yang belum ada ikatan nikah)”.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui setelah pembunuhan dosa yang besar daripada zina”.
Zina adalah satu dosa yang mengumpulkan semua keburukan dan kurangnya agama, hilangnya warak, rusaknya muruah, pengkhianatan, kebohongan, hilangnya sifat malu, lemahnya keyakinan, rusaknya keturunan, serta menghilangkan kenikmatan yang Allah halalkan. Zina juga menjerumuskan ke dalam penyesalan yang tak berkehabisan dan puncaknya, kembali dalam kehinaan hewani, bahkan lebih rendah, serta memperoleh kemarahan Allah.
Di antara penyebab seseorang terjerumus ke dalam perbuatan yang nista ini ialah lemah iman dan keyakinan terhadap hari pembalasan. Dalam hal ini, Allah berfirman tentang ciri-ciri ibadurrahman:
“Dan mereka adalah orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar dan mereka tida berzina. (QS Al-Furqan: 68)
Nabi kita Muhammad bersabda: “Tidak berzina seorang pezina ketika ia berzina sedang ia beriman”. (HR Bukhari dan Muslim)
Menahan Pandangan
Pandangan adalah awal dari ketergelinciran, sebab mata adalah jendela hati, maka dari itu ketika Allah ingin menjaga kemuliaan orang-orang yang beriman dengan perintah menjaga kemaluan mereka. Allah awali perintah tersebut dengan perintah menundukkan pandangan dari yang diharamkan, baik laki-laki maupun perempuan, karena pandangan kepada yang haram adalah salah satu panah dari panah setan. Panah itu dapat memindahkan seseorang kepada titik-titik kehancuran, walaupun pandangan itu pada awalnya tidak disengaja.
Allah berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki beriman hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Imam Al-Qurthubiy rahimahullah berkata: Sesungguhnya Imam Asya’biy berpendapat makruh hukumnya seorang laki-laki berlama-lama memandangi anak perempuannya atau berlama-lama memandangi ibunya atau berlama-lama memandangi saudarinya, padahal zaman dimana imam Asya’bi hidup lebih baik dari zaman kita saat ini dan kata beliau haram hukumnya seorang laki-laki memandangi berulang-ulang mahramnya dengan pandang syahwat.
Rasulullah SAW dalam matan hadisnya menyebutkan tiga azab yang didapatkan di dunia dan tiga lainnya di akhirat bagi penzina yang tidak bertaubat kepada Allah SWT. Dosa yang didapatkan di dunia adalah yang pertama, hilangnya kewibawaan (kehormatan). Kedua, terus hidup dalam kefakiran dan ketiga, Allah pendekkan usianya. Sedangkan di akhirat, pertama murkanya Allah kepadanya. Kedua, Allah susahkan dikala hisabnya dan ketiga jaminan masuk neraka.
Segera Taubat
Oleh karena itu, orang yang terlanjur terjerumus ke dalam perbuatan nista ini, dengan segala bentuknya hendaklah segera bertaubat kepada Allah sebelum terlambat. Sebelum perbuatan ini menjadi kecanduan seseorang, sebab jika hal itu terjadi, maka akan sangat sulit baginya untuk bertaubat dan meninggalkan perbuataannya.
Berhentilah sebelum Allah menghukum kita dengan mencabut kenikmatan dari apa yang Allah halalkan untuk kita sebagai salah satu bentuk hukuman dunia. Ketahuilah, tabiat syahwat itu tidak akan pernah dapat dipuaskan dengan memperturutkannya.
Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: “Para pecandu syahwat itu akan terus-menerus ketagihan untuk melakukannya sampai pada kondisi mereka tidak lagi merasakan kenikmatan ketika melakukannya, sedang mereka tidak lagi mampu untuk meninggalkannya”.
Karena itu, mari berhenti sebelum kita tidak mampu lagi untuk berhenti. Bila penyesalan telah menyelimuti sanubari dan tekad tidak mengulangi perbuatan nista ini telah bulat, istighfar kepada Allah SWT senantiasa dipanjatkan. Bila jalan-jalan yang akan menjerumuskan kembali ke dalam kenistaan ini telah ditinggalkan, semoga berbagai dosa dan hukuman Allah SWT atas perbuatan ini dapat terhapuskan.
Lantas, bagaimana halnya dengan hukuman dera atau cambuk yang belum ditegakkan atas pezina tersebut, apakah taubatnya dapat diterima?
Ada satu kisah menarik pada zaman Nabi SAW. Adalah sahabat Ma’iz bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengaku kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah berzina. Berdasarkan pengakuan ini, Rasulullah SAW memerintahkan agar ia dirajam. Tatkala rajam telah dimulai dan sahabat Ma’iz merasakan pedihnya dirajam, ia pun berusaha melarikan diri. Akan tetapi, para sahabat yang merajamnya berusaha mengejarnya dan merajamnya hingga meninggal.
Ketika Rasulullah SAW diberitahu bahwa Ma’iz radhiyallahu ‘anhu berusaha melarikan diri, beliau SAW bersabda: “Tidahkah kalian tinggalkan dia, mungkin saja ia benar-benar bertaubat, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya?” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Abi Syaibah).
Berdasarkan hadits ini dan hadits lainnya, para ulama menyatakan bahwa orang yang berzina, taubatnya dapat diterima Allah SWT, walaupun tidak ditegakkan hukum dera atau rajam baginya, apalagi seperti di zaman sekarang ini, dimana hukum-hukum syariat belum ditegakkan.
Di antara yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan atas dosanya. Yakni akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat, dan ia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina.
Firman Allah SWT: Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Furqan: 68-70)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Kejelekan yang telah lalu melalui taubatnya yang sebenar-benarnya akan berubah menjadi kebaikan. Yang demikian itu, karena setiap kali pelaku dosa teringat lembaran kelamnya, ia menyesali, hatinya pilu, dan bertaubat atau memperbaharui penyesalannya.
Dengan penafsiran ini, dosa-dosa itu berubah menjadi ketaatan kelak pada hari kiamat, walaupun dosa-dosa itu tetap saja tertulis atasnya. Akan tetapi, semua itu tidak membahayakannya. Bahkan akan berubah menjadi kebaikan pada lembaran catatan amalnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahîh, dan keterangan ulama salaf. []
*) Pimpinan Pesantren Al Manar Cot Iri Aceh Besar