Oleh: Anwar, S.Ag, M.A.P*)
Beberapa hari terakhir, jagat media lokal dan warung kopi di Bireuen kembali ramai oleh isu seputar DED , istilah teknis yang mendadak jadi bahan perdebatan publik. Katanya ada proyek besar, katanya belum jelas anggarannya, katanya juga ada aroma politik. Semua serba “katanya”. Sayangnya, di tengah riuh suara dan spekulasi, yang sering absen justru satu hal penting: data dan fakta.
Sebelum kita juga ikut terjebak dalam arus opini, mari kita tarik napas dan duduk sebentar, tapi duduknya jangan disudut pojok warung, agar tidak merasa tersudutkan nantinya dalam pembahasan.
Apa sih sebenarnya DED itu?
DED atau Detail Engineering Design bukan proyek fisik, bukan juga “trik politik”, jadi please jangan digorenglah ya bisa hangus emosi publik, melainkan tahap perencanaan teknis yang wajib ada sebelum pembangunan dilakukan.
Regulasi bahkan menegaskannya. Dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa penyusunan DED adalah bagian dari dokumen perencanaan kegiatan pembangunan fisik, artinya, ia harus disiapkan terlebih dahulu agar pembangunan tidak asal jalan.
Dengan kata lain, tanpa DED, pembangunan justru melanggar aturan.
Masalahnya, publik sering menganggap DED itu sudah “proyek jadi”. Padahal belum. Ia baru “gambar besar” dari cita-cita pembangunan, seperti peta jalan sebelum kita benar-benar melangkah. Jadi ketika muncul usulan DED dari masyarakat kepada pemerintah pusat, itu langkah wajar.
Tapi kalau anggaran pusat belum pasti turun, tentu pemerintah daerah harus berhati-hati. Boleh saja disiapkan DED oleh daerah, asal sesuai kewenangan dan kemampuan fiskal, bukan asal semangat atau demi pencitraan politik.
Nah, di sinilah kadang suhu publik naik. Ada yang bilang “ini proyek politis”, ada yang menuduh “itu permainan dana”, padahal banyak hal belum benar-benar dipahami.
Kita lupa bahwa tidak semua yang diusulkan langsung bisa dianggarkan. Ada mekanisme sinkronisasi antara pusat dan daerah, ada prioritas nasional dan tentu saja ada keterbatasan fiskal.
Jadi kalau DED belum teranggarkan, itu bukan berarti ada “masalah besar” bisa jadi karena tahapan administrasinya memang belum sampai ke sana.
Sebagai orang yang juga bergelut di dunia pembangunan dayah di Bireuen, saya memahami semangat masyarakat yang ingin segera melihat hasil nyata. Apalagi kalau yang dibangun nanti adalah dayah baru, simbol kebanggaan dan kemajuan santri di Bireuen. Tapi pembangunan yang terburu-buru tanpa peta jelas justru rawan gagal di tengah jalan.
Lebih baik pelan tapi terencana, daripada cepat tapi berujung kecewa. DED adalah wujud kesabaran dalam membangun, bukan sekadar dokumen, tapi janji pada masa depan yang ingin kita wujudkan dengan tertib dan bertanggung jawab.
Karena itu, mari kita lebih bijak membaca isu. Tidak semua yang viral harus dipercaya, dan tidak semua yang diam berarti salah. Mari biasakan menilai dengan data, bukan prasangka; dengan logika, bukan emosi. Bireuen akan maju bukan karena kita paling keras berdebat, tapi karena kita paling tenang berpikir. []
Editor: Hamdani
*) Penulis adalah praktisi pembangunan dayah dan pemerhati kebijakan publik di Kabupaten Bireuen.


