
Oleh: Sofyan,S. Sos *)
"Yang sering dilupakan oleh pengambil kebijakan di Jakarta adalah kenyataan bahwa Aceh bukan sekadar provinsi biasa. Aceh memiliki sejarah, luka, dan trauma yang tidak bisa dipisahkan dari relasi timpang antara pusat dan daerah..."
Pada tahun 1999, tulisan “Referendum” membanjiri jalan-jalan nasional, menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap ketidakadilan struktural dari pemerintah pusat.
Kini, dua dekade lebih berselang, semangat itu kembali bangkit dalam bentuk lain. Tepat pada Senin, 16 Juni 2025, ratusan mahasiswa dan masyarakat Aceh menggelar aksi besar-besaran di depan Kantor Gubernur Aceh.
Aksi tersebut menolak keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang secara sepihak memindahkan empat pulau yang sebelumnya berada dalam wilayah administrasi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara.
Aksi ini mengusung nama Gerakan Aceh Melawan (GAM), sebuah gerakan moral yang tidak terkait dengan masa lalu bersenjata, melainkan wujud kemarahan publik sipil atas kebijakan pusat yang dianggap melukai martabat Aceh.
Pulau-pulau yang dipersoalkan memang kecil secara geografis, tetapi besar maknanya dalam konteks identitas, sejarah, dan kedaulatan Aceh.
Yang menjadi perhatian adalah bagaimana isu ini mengemuka begitu mendadak, digiring secara massif ke ruang publik, terutama melalui media sosial dan kanal-kanal digital.
Informasi berseliweran tanpa kejelasan sumber dan konteks. Akibatnya, masyarakat Aceh sulit membedakan mana yang fakta dan mana yang digoreng untuk kepentingan tertentu.
Jika dicermati lebih dalam, muncul dugaan bahwa isu pemindahan pulau ini digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari agenda yang lebih sensitif: rencana penambahan enam batalion TNI di enam kabupaten di Aceh.
Narasi ini menyebar luas di tengah kecurigaan bahwa pemerintah pusat tengah melakukan militerisasi secara diam-diam di provinsi yang memiliki sejarah panjang konflik bersenjata ini.
Lebih lanjut, isu ini tak luput dari tarik-menarik politik nasional. Ada dugaan bahwa kelompok tertentu di lingkaran elit politik Jakarta—khususnya yang berseberangan dengan pemerintahan Presiden Prabowo—mencoba memanfaatkan momentum ini untuk memperlemah legitimasi pemerintah.
Nama-nama besar seperti mantan Presiden Jokowi dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ikut diseret ke dalam pusaran isu.
Bahkan, ada narasi bahwa keputusan Tito dipolitisasi sebagai bentuk “pengkhianatan,” dan dijadikan amunisi dalam pertarungan internal antar elit, khususnya antara PDI Perjuangan dan kelompok lain.
Namun di luar spekulasi politik, ada fakta objektif yang tak bisa dibantah: Kemendagri telah mengambil keputusan penting menyangkut wilayah Aceh tanpa proses komunikasi yang layak dan tanpa pelibatan Pemerintah Aceh secara utuh. Ini mencerminkan cacat serius dalam tata kelola pemerintahan yang seharusnya partisipatif dan terbuka.
Yang sering dilupakan oleh pengambil kebijakan di Jakarta adalah kenyataan bahwa Aceh bukan sekadar provinsi biasa. Aceh memiliki sejarah, luka, dan trauma yang tidak bisa dipisahkan dari relasi timpang antara pusat dan daerah.
Maka, wajar jika setiap langkah dari pemerintah pusat—apalagi yang menyangkut batas wilayah dan identitas—disikapi dengan kewaspadaan tinggi oleh publik Aceh.
Aceh tidak sedang meminta lebih dari yang dijanjikan. Mereka hanya menuntut komitmen pemerintah pusat terhadap perjanjian damai Helsinki, pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dan prinsip keadilan yang menjadi fondasi dalam bernegara. Ketika itu semua diabaikan, rasa percaya pun kembali terkikis.
Kini, pemerintah pusat dihadapkan pada dua pilihan: terus memandang Aceh sebagai wilayah pinggiran yang bisa diatur sesuka hati, atau melihat Aceh sebagai mitra strategis yang harus dihormati dan diajak berdialog setara. Yang dibutuhkan Aceh bukan lagi janji atau wacana kosong, tapi penghormatan nyata terhadap hak dan martabatnya.
Karena jika tidak, bukan tidak mungkin luka lama akan kembali berdarah. Dan sekali lagi, rakyat Aceh-lah yang akan membayar harga paling mahal dari konflik para elit Jakarta. []
Editor: Hamdani
*) Penulis Adalah Analis Politik dan Kebijakan Publik