
Aceh Besar - Idul Adha identik dengan dua ibadah agung, yakni penyembelihan hewan kurban dan pelaksanaan ibadah haji ke Baitullah. Kedua ibadah ini merupakan wujud konkret dari rasa syukur dan penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya. Kurban dan haji bukan sekadar ibadah yang lahir dari niat dan keinginan, melainkan membutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan pengorahan harta. Oleh karena itu, keduanya termasuk dalam kategori ibadah maliyah (ibadah yang melibatkan harta) bahkan juga maliyah ijtima’iyah (ibadah harta yang bernilai sosial).
Guru Besar Pascasarja UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Ustaz Prof. Dr. H. Armiadi Musa, MA menyampaikan hal itu dalam khutbah Jumat di Masjid Besar Lambaro Angan, Kecamatan Darussalam, 6 Juni 2025 bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1446 H
Ustaz Armiadi menguraikan, untuk menunaikan ibadah haji, seseorang perlu menyiapkan biaya yang tidak sedikit, bukan hanya untuk keberangkatan dirinya, tetapi juga untuk kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Begitu pula dengan ibadah kurban, yang mengharuskan kita menyisihkan sebagian harta membeli hewan sembelihan dari jenis bahiimatul an’am (hewan ternak).
“Ibadah ini menuntut keikhlasan dan keimanan yang kuat, karena kita diminta mengorbankan harta terbaik demi kebaikan bersama, bahkan syariat mendorong kita memilih hewan kurban yang paling baik, sehat, dan memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan,” ungkapnya.
Dengan demikian, tambah Ustaz Armiadi, persiapan kurban tidak cukup hanya sebatas niat, tetapi harus dibarengi dengan tekad yang kuat, perencanaan keuangan, dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Tentu saja, ukuran kurban tidak sekadar satu ekor kambing atau sepertujuh sapi sebagai batas minimal, tetapi dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kelapangan rezeki masing-masing.
“Kedua ibadah agung dalam momen Idul Adha ini sejatinya menjadi ujian keimanan dan parameter sejauh mana rasa syukur kita terhadap nikmat Allah. Pengorbanan harta dan materi dalam ibadah haji dan kurban adalah bentuk rasa syukur yang sejati, yakni menggunakan nikmat yang dimiliki untuk beribadah kepada-Nya,” urainya.
“Karena itu, Idul Adha menjadi momen tepat memperkuat kesadaran bahwa segala harta yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah. Titipan yang harus dimanfaatkan di jalan yang diridhai-Nya,” ujarnya.
Ustaz Armiadi menegaskan, jika rasa syukur ini benar-benar hadir dalam hati, maka Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya kepada kita, sebagaimana firman-Nya dalam surat Ibrahim ayat 7: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.”
Menurutnya, hubungan antara ibadah kurban dan rasa syukur juga ditegaskan dalam surat Al-Kautsar: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak; Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah; Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Dalam Tafsir al-Wajiz, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, ayat kedua merupakan perintah menunaikan salat dan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur atas limpahan nikmat Allah. Salat dilaksanakan dengan penuh keikhlasan karena mengharap rida-Nya, dan kurban dilakukan semata-mata karena Allah, dengan menyebut nama-Nya, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun.
Sementara itu, dalam Tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab menyatakan, surat ini memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk melaksanakan salat dan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk syukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Bentuk syukur itu terwujud melalui ibadah yang tulus dan ketaatan yang nyata.
“Karena itu, pada momentum mulia Idul Adha ini, mari kita wujudkan rasa syukur dengan menguatkan komitmen berkurban dan menumbuhkan tekad berhaji jika Allah memberi jalan. Insya Allah, kita termasuk golongan orang-orang yang memiliki keimanan kokoh dan pandai bersyukur,” pungkas Ketua LPTQ Aceh ini. [Sayed M. Husen]