Iklan

terkini

Prodi HI Umuslim Gelar Diskusi Bahas Tata Kelola Penanganan Pengungsi di Indonesia

Redaksi
Sabtu, Januari 06, 2024, 13:12 WIB Last Updated 2024-01-06T06:12:23Z
Diskusi membahas Tata Kelola Penanganan Pengungsi di Indonesia: Tantangan dan Hambatan. (Foto/Zulkifli)

Bireuen - Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (Prodi-HI) Fakuktas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Almuslim (Umuslim)  Peusangan Bireuen menyelenggarakan kuliah tamu dan diskusi membahas "Tata Kelola Penanganan Pengungsi di Indonesia: Tantangan dan Hambatan". 

Kegiatan kuliah tamu dan diskusi dihadiri puluhan mahasiswa dan dosen di lingkup Umuslim berlangsung di Ruang Seminar Ampon Chiek, Umuslim, Kamis, (04/01/2024) lalu.

Kegiatan tersebut diselenggarakan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan merespon perkembangan terkini persoalan pengungsi internasional, khususnya kedatangan pengungsi Rohingya di Provinsi Aceh. 

Kuliah tamu dan diskusi ini menghadirkan narasumber Nino Viartasiwi, Ph.D, seorang peneliti pada RDI-UREF (Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group), juga salah seorang pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional di President University-Bekasi Jawa Barat.

 Dalam kesempatan itu, Nino membahas apasaja yang menjadi tantangan dan hambatan pemerintah Indonesia dalam tata kelola penanganan pengungsi Internasional di Indonesia.

Di bagian awal presentasinya, Nino Viartasiwi mengungkapkan bahwa sebenarnya terdapat 12.000 lebih pengungsi yang ada di Indonesia, yang berasal dari berbagai negara di dunia.

Para pengungsi ini umumnya berasal dari negara-negara yang sedang mengalami konflik, seperti Afganistan, Yaman, Suriah, dan negara-negara di Afrika.

Menurutnya pengungsi Rohingya yang berjumlah kurang lebih 1500 orang yang tiba di Aceh pada tahun 2023 lalu, hanya menempati kurang lebih 10 persen dari total pengungsi internasional yang ada di Indonesia.

"Para pengungsi internasional dari beragam negara ini, umumnya mendiami tempat-tempat fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah Indonesia dan dibiayai oleh lembaga Internasional seperti UNHCR dan IOM," katanya.

"Sebenarnya jumlah pengungsi internasional di Indonesia masih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengungsi yang ada di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, misalnya, Malaysia menampung setidaknya 150 ribu dan Thailand hampir 500 ribu pengungsi yang berasal dari berbagai negara di dunia," ungkapnya. 

Menurutnya, negara-negara Eropa juga menampung jutaan pengungsi dari negara-negara yang berkonflik, seperti misalnya para pengungsi Ukraina di Polandia, Jerman dan Republik Ceko.
Masalah migrasi dan pengungsi internasional adalah isu politik internasional kontemporer yang perlu dinilai secara hati-hati karena memiliki dimensi keamanan nasional dan kemanusiaan. 

Menurut Nino, Walaupun Indonesia adalah wilayah transit dari para pengungsi internasional, namun Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki kebijakan tata kelola tersendiri yang dapat dipakai sebagai rujukan pengelolaan pengungsi Internasional ini.

"Dalam kasus pengungsi Rohingya yang ada di Aceh, Nino menilai bahwa pemerintah sebaiknya memastikan adanya satu fasilitas penampungan sementara yang memadai, sehingga tidak menganggu aktifitas keseharian masyarakat lokal apalagi berpotensi menganggu ketertiban sosial jika dibiarkan begitu saja," pungkasnya.

Kemudian Shaummil Hadi, S.Sos, M.A, salah seorang dosen Prodi HI Fisip Umuslim bertindak sebagai pembicara pendamping, menambahkan sebaiknya pemerintah Indonesia harus memastikan kapan fase emergensi dan post-emergensi dalam penanganan para pengungsi Rohingya yang akhir-akhir ini tiba di Aceh kedatangannya secara bergelombang.

Menurutnya memastikan tahapan ini sangat penting dan menentukan bagaimana upaya pengelolaan yang lebih baik.

"Kita sebenarnya dapat belajar dari pengalaman penata kelolaan para penyintas bencana Tsunami 2004 lalu, pada mulanya juga sengkraut sebelum pemerintah menyusun struktur pelembagaan BRR yang menjalankan mandat proses rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami," paparnya.

"Demikian pula dalam hal penanganan pengungsi Rohingya yang ada di Aceh," harapnya. 

Menurutnya, Pemerintah Pusat setidaknya dapat membentuk pelembagaan tersendiri yang bertindak sebagai komando penanganan awal sebelum ditangani secara permanen baik penerintah pusat maupun lembaga resmi lainnya.

"Kelembagaan ini harus berkoordinasi secara efektif dengan lembaga Internasional yang bertanggung jawab mengurusi pengungsi untuk menemukan solusi jangka panjang. Sehingga tidak membebani pemerintah daerah dan masyarakat lokal secara berlarut-larut dan berkepanjangan," paparnya.

Menurutnya, akibat tidak adanya tatakelola yang jelas baik pemerintah pusat maupun daerah sehingga munculnya penolakan dari sejumlah pihak.

Tambah Shaummil lagi terbangunnya narasi kebencian akhir-akhir ini dapat mengarah pada sikap dehumanisasi bagi para pengungsi Rohingya dan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila.
Pada bagian penutup diskusi, Nino Viartisiwi, menekankan pentingnya sikap kepastian pemerintah Indonesia dalam hal tata kelola penanganan para pengungsi Rohingya di Aceh. 

Dia menjelaskan bahwa meskipun Indonesia tidak terikat pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi internasional sehingga kepatuhan negara atas prinsip non-refoulment dapat diabaikan.

Namun prinsip kemanusiaan dalam isu pengungsi pada dasarnya masuk dalam kategori Jus Cogens, dimana tedapat kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu yang berada didalam wilayah teritorialnya.

Selain itu ditambahkan Nino, Indonesia telah pula meratifikasi Konvensi Internasional tentang HAM dan Hak Sipil melalui UU No.5 tahun 1998, UU No. 39 tahun 1999 dan UU No.12 tahun 2005 yang menekankan penerapan prinsip perlindungan hak-hak fundamental manusia tanpa memandang suatu negara berstatus angota konvensi internasional tentang pengungsi maupun bukan sebagai anggota. Bahkan lanjutnya, “UUD 1945 Pasal 28 G (2) telah mengamanatkan bagaimana posisi setiap individu baik warga negara indonesia maupun warga negara asing adalah memiliki kesetaraan hak terhadap nilai-nilai yang melekat pada diri manusia.

"Sehingga melekat kewajiban negara dalam memberikan perlindungan kepada setiap manusia tanpa melihat status kewarganegaraanya, termasuk bagi para pengungsi Rohingya yang ada di Aceh”, ujar Nino.

"Perpres No. 125 tahun 2016 sebagai amanat UU No. 37 tahun 1999 telah menjadi rujukan bagi proses penanganan pengungsi internasional di Indonesia, tetapi dirasa belum cukup memadai karena tidak disertai dengan juknis pelaksanaan yang lebih komprehensif," jelasnya. 

Karenanya, pemerintah Indonesia perlu mengkaji kembali kebijakan tata kelola penanganan pengungsi internasional di Indonesia, sebagai bagian antisipasi perubahan dan dinamika Internasional di masa mendatang. [Zulkifli]
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Prodi HI Umuslim Gelar Diskusi Bahas Tata Kelola Penanganan Pengungsi di Indonesia

Terkini

Topik Populer

Iklan