Aceh Besar -- Amar makruf dan nahi mungkar selalu disebutkan secara beriringan, namun dalam implimentasinya tidak selalu beriringan. Amar makruf dapat dilakukan oleh semua orang dan dilakukan dengan mudah, sementara nahi mungkar tidak semudah amar makruf. Praktik amar makruf bisa saja dilakukan oleh semua orang, tetapi tidak semua orang dapat melakukan nahi mungkar. Padahal nahi mungkar merupakan bagian dari kesempurnaan iman seseorang. Tidak sempurna iman seseorang hanya dengan amar makruf, kalau belum melakukan nahi mungkar.
Wadek III Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Dr. Tgk. H. Ajidar Matsyah, Lc, MA menyampaikan hal tersebut dalam khutbah Jumat di Masjid Al Ikhlas, Kantor LAN, Kecamatan Darul Imarah, Jumat, (08/12/2023).
Ia menjelaskan, yang menjadi landasan akademis nahi mungkar dapat dilihat pada beberapa ayat al-Quran, di antaranya surah Ali Imran, ayat 104, yang artinya, "hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung," paparnya.
Direktur Dayah Tinggi Samudra Pase Baktiya Aceh Utara ini menjelaskan, bahwa umat Islam dimana pun dan siapa saja diperintahkan dan bertanggungjawab menyeru kepada kebaikan dan menjalankan amar makruf, serta mencegah mungkar. Untuk dapat melaksanakan tanggungjawab nahi mungkar dimaksud diperlukan strateginya.
Selanjutnya Ajidar menjelaskan beberapa strategi nahi mungkar, pertama, ilmu tentang mungkar dan jenis-jenisnya. Strategi pertama pelaksanaan nahi mungkar ialah pengetahuan tentang mungkar dan jenis-jenisnya.
Tujuannya agar dalam pelaksanaan nahi mungkar tidak salah sasaran dan salah hukum. Jika pencegah mungkar dilakukan oleh jahil atau bodoh, karena ia bukan hanya tidak tercapai sasaran bahkan besar kemungkinan orang jahil atau bodoh akan merusak hal-hal telah baik, karena dilakukan tanpa ilmu pengetahuan tentang apa yang dilakukan.
“Yang dimaksud dengan mungkar adalah setiap perkara yang dibenci dan diharamkan oleh syara, baik dalam bentuk iktikad, ucapan maupun perbuatan. Di antara jenis mungkar yaitu melakukan yang diharamkan, meninggalkan yang wajib, dan kekal atas dosa kecil. Kemungkaran lainnya mencampur aduk antara haq dan batil, membiarkan maksiat, dan menyediakan fasilitas maksiat,” ungkap Ajidar.
Manurut Ajidar, strategi kedua nahi mungkar bahwa pencegah mungkar harus terbebas dari mungkar, artinya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kalau pencegah mungkar masih berstatus pelaku mungkar, akan melahirkan kemunkaran baru.
Strategi ketiga nahi mungkar dilakukan dengan metode lemah lembut, karena pencegahan dengan lemah lembut akan menyadarkan pelaku kemungkaran, sebaliknya pencegahan dengan cara kasar justru akan memunculkan resistensi dari pelaku.
Ajidar menambahkan, srategi selanjutnya ialah kesabaran dalam melakukan pencegahan mungkar, karena nahi mungkar merupakan pekerjaan yang berisiko tinggi. “Untuk itu, pencegah mungkar harus memiliki sifat sabar dan daya tahan yang tinggi,” tegasnya.
Sementara dalam dalam konteks keacehan perlu penambahan strategi nahi mungkar yaitu menghidupkan kembali “pageu gampong” atau keamanan kampung.
“Perkembangan hari ini, kemungkaran di sekitar kita semakin hari semakin bervariasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jika dibiarkan akan menjadi wabah dalam masyarakat dan akan mengarah ke arah kehancuran identitas suatu bangsa. Ini merupakan tanggungjawab bersama seluruh masyarakat Aceh,” pungkasnya. [Sayed M. Husen]