Iklan

terkini

[Opini] Fenomena Ghibah di Era Digital

Redaksi
Jumat, Oktober 20, 2023, 18:07 WIB Last Updated 2023-10-20T11:07:35Z
Oleh: Syahrati, S. HI., M.Si.*)

"Ghibah dikenal juga dengan menggosip, menggunjing atau mengumpat..."

Maha suci Allah yang telah menciptakan manusia dengan dua mata, dua telinga, dan satu mulut. Tentu bukan faktor kebetulan Allah menciptakannya, semua diciptakan sesuai dengan rencana dan maksud. Dari penciptaan manusia, kita melihat betapa Allah memberi pesan tersirat agar manusia banyak mendengar, melihat, namun sedikit berbicara.

Lidah merupakan sepotong daging tak bertulang yang terdapat di dalam rongga mulut manusia dan hewan yang berfungsi utama sebagai indera pengecap dan organ komunikasi yang amat penting. Ia terletak di dalam rongga mulut dan dipagari dua baris gigi yang mengisyaratkan supaya manusia berhati-hati menjaga lidah dan apa yang diucapkan lidah.

Sebagai salah satu organ komunikasi pada manusia, lidah dapat berfungsi mendekatkan seseorang kepada Allah. Dengan lidah, seseorang menjadi hamba yang mulia, tetapi dengan lidah pula  seorang hamba dapat bermaksiat. Apa yang kita dengar dan lihat hanya berimbas pada diri pribadi, tetapi begitu mulut terbuka dan lidah digerakkan, maka pengaruhnya akan besar pada lingkungan. 

Imam Al Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” menyebutkan 20 macam dosa disebabkan oleh lidah diantaranya membicarakan persoalan-persoalan yang tidak ada kaitan dengannya, berbicara terlalu banyak dan perihal yang tidak berguna, membicarakan hal-hal yang sia-sia, menambah-nambahi pembicaraan, membicarakan hal-hal yang buruk, menyebarkan rahasia orang lain, menyebarkan pembicaraan dari satu orang ke orang lain yang tidak berhak. Beberapa dosa tersebut terangkum dalam satu perbuatan yaitu ghibah.

Ghibah dikenal juga dengan menggosip, menggunjing atau mengumpat. Asal kata ghibah dari Bahasa Arab ghaaba yang berarti sesuatu yang tersembunyi dari mata. Imam Al-Ghazali menguraikan,  ghibah tidak hanya membicarakan aib-aib orang lain secara lisan, melainkan dapat mengungkapkan aib orang lain melalui tulisan, isyarat mata, isyarat tangan dan sebagainya. Sedangkan Hasan Al-Thusiy memaknai ghibah sebagai sesuatu hal yang membicarakan kejelekan seseorang di belakang. Perilaku tersebut sama sekali tidak ada manfaat dan hikmahnya untuk orang-orang yang membicarakannya.

Ghibah merupakan suatu ungkapan atau obrolan yang dibicarakan tanpa diketahui oleh seseorang yang dibicarakan. Ungkapan tersebut membahas tentang kekurangan dan aib-aib orang, yang sebenarnya orang tersebut tidak rela bila dibicarakan dibelakangnya. 

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tahukah engkau apa itu gibah?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Ia berkata, "Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain." Beliau ditanya, "Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?" Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Jika sesuai kenyataan, berarti engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya." (HR Muslim Nomor 2589)


Seperti makan bangkai 

Allah Swt melarang keras setiap Muslim menggunjing atau ghibah dihinakan setara dengan memakan daging manusia yang sudah mati. "Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik." (QS al-Hujuraat: 12).
 
Meski Allah dan Rasul-Nya sudah tegas melarang gibah, aktivitas tersebut sulit terbendung. Naluri manusia bercerita dan mendengarkan cerita menjadi salah satu musabab lestarinya tradisi itu. Menyebarluaskan kejelekan orang lain sering terjadi dalam masyarakat dan sudah menjadi hal yang lumrah.

Secara konvensional ghibah dilakukan dalam lingkar berkumpul dua orang atau lebih dalam satu tempat, namun saat ini ghibah mengalami rovolusi seiring dengan berkembangnya dunia digital. Di Indonesia, media sosial telah menjadi kebutuhan komunikasi masyarakat. Hingga Januari 2023, tercatat jumlah pengguna media sosial di Indonesia 167 juta orang. Jumlah tersebut setara 78 persen dari jumlah total pengguna internet di Indonesia yang mencapai 212,9 juta.

Media sosial, mulai dari Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, SnackVideo, hingga TikTok menampung semua penggunanya untuk menyebarkan konten maupun informasi, baik yang positif maupun negatif. Konten yang disebarkan melalui medsos berpeluang terbukanya ruang ghibah dengan berbagai komentar yang ada didalamnya. 

Mengantisipasi ghibah

Imam Zainuddin al-Juba'i al-Amili as-Syami (w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal Kasyf ar- Raibah 'An Ahkam al-Ghibah menawarkan obat penawar mengantisipasi ghibah. Tentu dosis umum mencegah ghibah adalah menahan lisan. Lebih daripada itu, hendaknya kita selalu selalu mawas, introspeksi, dan menyibukkan diri dengan mengurusi kekurangan diri sendiri daripada mengoreksi aib orang lain. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw mengingatkan, beruntunglah mereka yang disibukkan dengan aibnya sendiri daripada mencari kekurangan orang lain.

Syekh Muhammad Abul Mawahib Asy-Syadzili, murid dari Syech Abu Sa’id Ash-Shafrawi, adalah seorang ulama besar yang pernah mengajar di Universitas Al Azhar, Mesir. Beliau sering bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw. 

Dia mengatakan, "Aku bermimpi melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di lantai atas Universiti Al Azhar pada tahun 825 H. Lalu Baginda meletakkan tangannya di dadaku dan bersabda, “Wahai anakku, ghibah itu haram hukumnya. Tidakkah kau mendengar firman Allah Swt, janganlah sebahagian kamu membicarakan keburukan (ghibah) sebahagian yang lain.”

Kemudian Rasulullah saw melanjutkan, “Jika kamu tak dapat menghindari untuk mendengar orang-orang berghibah, maka bacalah surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas, lalu hadiahkan pahalanya kepada orang yang dighibahi atau dibicarakan keburukannya itu, karena (mendengarkan) ghibah dan pahala dari bacaan tersebut berimbang.”

Semoga Allah saw menjauhkan kita dari perkara tidak baik, ghibah melalui lisan dan medos, melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan  lalai dari berbuat kebaikan. Wallahu ‘alam bishawab. []

Editor: Sayed M. Husen

*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bireuen
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • [Opini] Fenomena Ghibah di Era Digital

Terkini

Topik Populer

Iklan