Oleh: Afrizal Sofyan, SPd.I, M.Ag*)
Sesungguhnya amal hati itu merupakan bagian dari pokok-pokok iman dan kaidah-kaidah agama. Ibadah meliputi dua hal pokok yaitu perkataan dan perbuatan yang terlihat dan disebut dengan amalan zahir. Kedua, perkataan dan perbuatan yang tidak terlihat yang disebut dengan ibadah qalbiyah atau ibadah yang dilakukan oleh hati.
Kedua ibadah ini menjadi saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Kekurangan dalam salah satu satu dari keduanya berarti merupakan kekurangan dalam ibadah itu sendiri, sehingga ibadah menjadi kurang dan bahkan tertolak.
Hal ini dijelaskan dalam kitab Minhaajus Sunnah (6/136-137), bahwa amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf shalat, tetapi perbedaan nilai shalat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi.
Salah satu amalan hati adalah ikhlas. Tulisan ini membahas apa itu ikhlas, keutamaan ikhlas, buah keikhlasan, serta bagaimana cara menghadirkan ikhlas dalam beribadah.
Makna Ikhlas
Para ulama berbeda redaksi dalam mendefenisikan dan menggambarkan makna ikhlas. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah Swt dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang lainnya berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab mengutip beberapa pandangan ulama tentang ikhlas, diantaranya ungkapan Al ‘Izz bin Abdis Salam, “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah Swt. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Selanjutnya Abu ‘Utsman berkata, “Ikhlas ialah melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Imam Nawawi juga mengutip ungkapan Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh, “Meninggalkan amal karena riya’ dari manusia. Beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.
Dari ungkapan para ulama di atas, dapat disimpulkan, ikhlas adalah menghendaki keridhaan Allah Swt dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah Swt dan demi hari akhirat.
Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji. Intinya bukan karena Allah Swt, tetapi karena sesuatu, maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Buah Keikhlasan
Syekh Muhammad Shaleh al Munajjid dalam kitabnya ‘Amalul Qulub (hlm 26), menjelaskan beberapa keutamaan dari ikhlas dalam beribadah dan beramal, yaitu, pertama, diterimanya amal dan ibadah. Kedua, mendapatkan pahala dari amalan yang dilakukan. Ketiga, amalan kecil bisa menjadi besar nilainya disisi Allah Swt. Keempat, mendapatkan ampunan dosa. Kelima, amalan mubah dan adat kebiasaan menjadi bernilai ibadah.
Keenam, terjaganya diri dari gangguan syaitan. Ketujuh, terhindar dari was-was dan terjauhkan dari riya’. Kedelapan, hilangnya kegalauan dan mendapat banyak rezeki. Kesembilan, terhindar dari kesulitan.
Menghadirkan Ikhlas dalam beribadah
Menghadirkan ikhlas dalam beribadah bukanlah perkara yang mudah, seperti pengakuan Sufyan At Tsauri rahimahullah , “Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagiku melebihi masalah niatku, karena ia mudah berbolak balik.” (Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17). Atau Yusuf bin Husain rahimahullah yang mengatakan, “Sesuatu yang paling susah bagiku di dunia ini adalah keikhlasan, berapa kali aku bersungguh sungguh untuk menghilangkannya dari hatiku, namun seakan akan dia tumbuh kembali dengan corak yang lain”. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, I/70)
Meskipun begitu, bukan berarti ikhlas tidak bisa dihadirkan. Bermujahadah, menggerakan semua daya dan upaya untuk mendapatkannya tetap menjadi keharusan. Bukankah pahala itu sesuai dengan kesusahan dalam beramal.
Syekh Muhammad Shaleh al Munajjid menjelaskan beberapa usaha untuk menghadirkan ikhlas dalam beribadah, pertama, yang harus dilakukan adalah senantiasa menghadirkan kebesaran Allah Swt dalam diri, takut terhadap siksaan-Nya dan merasa malu kepadaNya.
Kedua, selalu meminta kepada Allah Swt agar diberikan keikhlasan. Karena sesungguhnya semua kebaikan seorang hamba merupakan taufik dari Allah Swt. Manusia tidaklah memiliki daya dan upaya untuk beramal, kecuali jika disertai dengan taufik dariNya, sebagaimana Sabda Rasulullah saw, “Ya Allah, yang mengubah kalbu-kalbu (manusia), jadikan kalbu kami ada dalam ketaatan kepada-Mu.” (HR Muslim no 2654)
Ketiga, berjuang melawan hawa nafsu. Allah Swt berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad (berjuang) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS al-Ankabut: 69).
Imam Asy-Syaukani berkata tentang tafsir ayat di atas, “Berjuang dalam urusan Allah untuk mencari ridha-Nya dan mengharapkan kebaikan yang ada di sisi-Nya.” (Fathul Qadir)
Rasulullah saw bersabda,“Pejuang adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu)
Keempat, muhasabah atau introspeksi diri. Allah Swt berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr: 18)
Dalam hal mengevaluasi diri, sebaiknya selalu menanyakan dirinya sebelum, ketika, dan setelah beramal. Sebelum memulai, berhentilah sejenak, tanyakan kepada jiwanya, apa yang kita ingingkan dengan amalan ini? Jika yang diinginkannya adalah ridha Allah, atau pahala dari Allah Swt, maka hendaklah meneruskan amalannya.
Namun sebaliknya, jika ternyata yang diinginkan hal lain selain Allah Swt, maka hendaknya seseorang tidak melanjutkan amalannya sampai meluruskan niatnya. Ketika sedang beramalpun tetaplah melihat hati kita, jangan sampai berubah niatnya. Jika kemudian muncul niat lain selain Allah Swt, maka segera palingkan kepada Allah Swt. Begitu juga setelah beramal. Jangan sampai muncul keinginan untuk diketahui oleh manusia, hingga kemudian menceritakan amalannya sambil berharap pujian dari mereka.
Kelima, mengerjakan ibadah secara diam-diam Allah Swt berfirman,“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS al-A’raf: 55)
Hal ini berlaku untuk ibadah-ibadah yang memang dianjurkan agar dilakukan secara diam-diam. Kemudian juga hendaklah tidak bangga dengan amalannya. Tidak takjub dengan dirinya sendiri. Karena, sesungguhnya ketika seseorang merasa takjub dengan dirinya sendiri, ketika itu dia sedang menyekutukan Allah Swt dengan dirinya sendiri dan membuka peluang dirinya untuk menceritkan atau menampakkan kepada yang lain.
Keenam, memperbanyak ketaatan juga merupakan salah satu cara menghasilkan ikhlas, karena, syaitan akan selalu berusaha agar seorang hamba meninggalkan ketaatan atau berusaha merusak amalan yang dilakukan oleh seorang hamba. Jika kemudian syaitan melihat seorang hamba senantia berada dalam ketaatan, dan tidak menghiraukan ajakan syaitan, bahkan setiap kali syaitan membisiki seorang hamba namun justru hamba tadi bertambah ketaatan dan keikhlasannya, syaitan pun akan putus asa dan berhenti dari menggoda hamba tadi, agar tidak menambah pahalanya.
Namun, jika seorang hamba terkadang taat, namun terkadang juga berbuat maksiat dengan menyambut ajaran syaitan, maka syaitan akan semakin bersemangat menggoda hamba tadi, begitu kata Hasan Al Bashri.
Ketujuh, hendaknya seorang hamba selalu bergaul dan berkumpul dengan orang orang yang ikhlas, dengan harapan bisa berqudwah dan mengikuti mereka dalam keikhlasan. Bukankah seseorang akan berada dalam agama teman dekatnya, sehingga jika kita ingin melihat agama seseorang cukup dengan melihat agama teman dekatnya, sebagaimana wasiat baginda Rasulullah saw, maka pilihlah kawan yang baik, maka kita pun akan menjadi baik dengan izin Allah Swt.
Mudah mudahan Allah Swt memberikan rahmat dan taufikNya kepada kita semua, agar senantiasa diberikan keikhlasan dalam beribadah, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan, kecuali dengan keikhlasan. []
*) Penulis adalah anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Besar