Oleh: Dr. Fahmi Sofyan, MA*)
Adakalanya musibah diterjemahkan sebagai suatu laknat atau kehancuran dan kadang musibah itu sebagai suatu ujian atau cobaan, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an bagaimana ditenggelamkannya pembangkang-pembangkang Nabi Nuh alaihissalam, kaum Ad yang dihancurkan dengan angin badai, kaum tsamud dengan angin badai dan gempa, kaum Nabi Luth alaihissalam yang diluluh-lantakkan oleh Allah SWT. Banyak lagi cerita-cerita dalam al-Qur’an yang menceritakan kaum-kaum yang dilaknat.
Lalu, dimana posisi kita sekarang, apakah termasuk kaum yang dilaknat atau yang sedang diuji oleh Allah SWT. Kita harus memandang setiap musibah yang datang dari dari dua sisi, pertama, kalau seandainya kita sebelum diturunkannya musibah, kita orang yang jauh dari Allah, berbuat maksiat, menzalimi orang, dan tidak pernah mendengar perintah Allah SWT, maka kita termasuk kelompok yang sedang dilaknat oleh Allah SWT.
Hal ini diingatkan dalam Al-Qur’an surat al-Haqqah ayat 5: “Adapun kaum Tsamud Kami hancurkan sebab mereka itu pembangkang”.
Kaum ‘Ad dihancurkan oleh Allah karena perbuatan mereka sendiri yang menentang Nabi Hud dan mereka tidak mau menyembah Allah SWT. Begitu juga kaum Tsamud, mereka diluluh-lantakkan karena mereka menentang Allah SWT dan Nabi Saleh. Maka azab itu akan datang apabila kita berbuat maksiat.
Allah tidak mengazab suatu kaum sebelum mengutus Rasul dan mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, tapi mereka mereka membangkang dan mengolok-ngolok rasulnya. Allah SWT berfirman: “Allah tidak menghancurkan penduduk kampung sebelum mengirim utusan ke kampung itu, yang mengajak mereka dengan membacakan ayat-ayat Kami dan Kami sekali-kali tidak menghancur mereka, kecuali karena mereka sendiri yang berbuat zalim”. (QS al-Qashas: 59)
Kedua, apabila sebelum diturunkan azab kita patuh kepada Allah SWT dan RasulNya, mendengar perintahNya dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT, maka musibah yang datang berupa ujian dari Allah SWT. Allah SWT tidak begitu saja percaya terhadap amal ibadah yang sudah kita lakukan, tetapi harus diuji dulu. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-Ankabut: 2)
Ujian yang datang kepada seorang mukmin untuk mengetahui mana mukmin yang sebenarnya dan mana pendusta, dan hanya mukmin yang terpilihlah yang sanggup menghadapi ujian ini. Maka tidak salah kalau Allah SWT menjuluki mereka dengan orang-orang sabar; sabar terhadap ujian dan ia tahu kalau ujian itu berasal dari Allah SWT.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS al-Baqarah:155).
Transformasi diri
Allah SWT tidak begitu saja percaya dengan amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang, melainkan harus diuji terlebih dahulu, makanya kita jangan pernah bangga dengan amal ibadah yang kita lakukan. Ujian yang diberlakukan kepada orang-orang mukmin sifatnya menguji seseorang dan meluruskan agar seorang mukmin melakukan pembenahan terhadap dirinya sendiri kepada hal yang lebih baik.
“Apakah kamu mengira akan masuk kedalam surga begitu saja, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran: 142).
Ada dua poin penting ujian Allah SWT bagi orang-orang yang beriman; untuk mengetahui bagaimana seseorang bermujahadah melawan hawa nafsunya dan bagaimana kesabaran mereka ketika menerima musibah. Oleh karena itu, mari kita melakukan transformasi diri dimulai dengan mendidik kembali hati, membersihkan hati, dan membiasakan diri untuk sabar.
Dr Yasir Burhami dalam bukunya A’malul Qulub mengatakan, sabar itu dibagi kepada tiga; pertama, sabar terhadap perintah Allah SWT, adalah sabar terhadap segala apa-apa yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti shalat, puasa, zakat dan perintah-perintah lainnya. Kedua, sabar tidak berbuat maksiat, adalah bersabar untuk meninggalkan segala bentuk yang dilarang oleh Allah SWT seperti mencuri, berzina dan lain sebagainya. Ketiga, sabar terhadap musibah yang menimpa, seperti sakit dan datangnya bencana.
Balasan dari muhasabah diri yang dilakukan oleh seorang mukmin tidak tanggung diberikan oleh Allah SWT. Untuk mereka akan dipersiapkan surga, karena mereka adalah orang-orang pilihan yang sanggup menghadapi ujian atau cobaan dan mereka bukan orang-orang munafik yang hanya pandai bicara saja tapi tidak berbuat. Bahkan, Ibnu Abbas menyikapi surat Luqman ayat 17 mengatakan, hakikat iman itu ada tiga; mendirikan shalat, amar makruf nahi mungkar dan bersabar terhadap musibah yang menimpa.
Karena itu, kalau ingin menilai keimanan seseorang, nilailah dari salah satu dari tiga unsur di atas. Seorang yang beriman tidak terlepas dari ketiga unsur tersebut, yang pada hakikatnya semua bermuara pada sifat sabar, karena shalat dan amar makruf nahi mungkar sangat butuh kepada kesabaran. []
*) Dosen Tetap Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Ar-Raniry
dan Anggota MPU Banda Aceh