Kondisi panik yang terlihat dari tangkapan layar dari video yang saya terima, dalam tragedi terbaliknya boat getek di penyeberangan darurat Ulee Jalan, Peusangan Selatan. (Foto/Ist)
Laporan Hamdani dari Bireuen
Pagi tadi menjelang siang, Krueng (sungai-red) Peusangan tak hanya mengalirkan air yang deras. Ia juga membawa kepanikan, tangis, dan ketakutan yang membekas di hati banyak orang. Dari sebuah video yang diterima media ini, suara teriakan panik terdengar jelas, memecah hiruk-pikuk arus sungai: “Hoi, sidroe teuk ho ureung! Sidroe teuk ho ureung!” yang bermakna satu orang lagi ke mana?
Simak video lengkapnya:
Teriakan itu datang dari bibir-bibir warga yang berdiri di pinggiran sungai pada pagi menjelang siang Selasa, 16 Desember 2025 saat biar getek tenggelam. Suara yang bukan sekadar panggilan, melainkan jeritan nurani. Di hadapan mereka, sebuah boat getek yang biasa menjadi tumpuan hidup masyarakat telah terbalik. Air keruh bergolak, sementara beberapa penumpang tampak berjuang melawan arus, berenang seadanya demi satu tujuan: bertahan hidup.
Dalam rekaman itu, detik-detik terasa begitu lambat. Tubuh-tubuh yang terseret arus berusaha menggapai tepi, tangan-tangan terulur, napas tersengal. Di sisi lain, warga hanya bisa berteriak, menunjuk, berharap ada satu kepala lagi yang muncul ke permukaan air. Namun harapan itu berkali-kali patah oleh derasnya Krueng Peusangan.
“Sidroe teuk ho ureung!” teriak seseorang lagi. Kalimat sederhana dalam bahasa Aceh itu menggema pilu, ungkapan cemas, takut, sekaligus doa. Bukan sekadar pertanyaan, melainkan pengakuan bahwa satu nyawa belum kembali dari pelukan sungai.
Getek yang selama ini menjadi sahabat setia penyeberangan darurat, pagi itu berubah menjadi saksi bisu tragedi. Ia mengingatkan betapa rapuhnya keselamatan warga di tengah keterbatasan sarana, pasca banjir dan tanah longsor di Aceh akhir November 2025 lalu. Tak ada pengaman memadai, hanya keberanian bahkan nekat dan kebiasaan yang dipertaruhkan setiap kali menyeberang.
Pemandangan itu sungguh menyayat hati dan nurani. Kepanikan yang terekam kamera bukanlah adegan film, melainkan potret nyata kehidupan masyarakat di bantaran Krueng Peusangan, masyarakat menyeberang karena terpaksa, saat hidup tiada pilihan, ketika satu musibah kecil mampu berubah menjadi elegi besar.
Hingga kini, satu nama masih dipanggil oleh banyak suara. Di tepi sungai itu, harapan terus digantungkan pada arus yang belum juga mengembalikan jawabannya. Sidroe teuk ho ureung! Sebuah kalimat sederhana, yang pagi itu menjelma menjadi doa paling sunyi bagi satu nyawa yang belum pulang. []


