Iklan

terkini

[Opini] Kompensasi dan Work-Family Conflict terhadap Turnover Invention dengan Komitmen Organisasi

Redaksi
Senin, Juni 23, 2025, 21:44 WIB Last Updated 2025-06-23T15:20:45Z
Oleh: Hamdani, SE., MSM & Mukhlisul Muzahid, SE., M.Si.Ak.*)

Dalam dunia kerja modern yang bergerak begitu cepat dan dinamis, mempertahankan karyawan menjadi tantangan besar bagi banyak organisasi. 

Fenomena meningkatnya keinginan karyawan untuk keluar atau pindah dari tempat kerja mereka, yang dalam literatur manajemen sumber daya manusia disebut sebagai turnover intention, telah menjadi isu krusial. 

Bukan hanya karena biaya yang harus dikeluarkan organisasi untuk merekrut dan melatih pengganti, tapi juga karena hilangnya pengetahuan, pengalaman, serta jejaring yang telah dibangun oleh karyawan tersebut selama bekerja.

Turnover intention, walaupun belum tentu berujung pada pengunduran diri, merupakan indikator penting yang menggambarkan ketidakpuasan atau permasalahan dalam lingkungan kerja. 

Dua hal yang kerap muncul sebagai penyebab utama dari munculnya keinginan untuk keluar dari pekerjaan adalah persoalan kompensasi dan konflik antara pekerjaan dan keluarga (work-family conflict). 

Keduanya secara signifikan memengaruhi tingkat komitmen seorang karyawan terhadap organisasinya. Dalam tulisan ini, kita akan menguraikan lebih dalam bagaimana ketiga aspek ini saling berkelindan dan membentuk dinamika yang menentukan loyalitas dan keberlangsungan tenaga kerja dalam sebuah organisasi.

Kompensasi merupakan salah satu faktor fundamental dalam hubungan kerja. Ia bukan hanya instrumen ekonomi, tapi juga simbol penghargaan, pengakuan, dan rasa keadilan. 

Seorang karyawan yang merasa bahwa kompensasi yang diterimanya tidak sebanding dengan beban kerja, tanggung jawab, atau bahkan kontribusi yang diberikan, akan dengan mudah merasakan demotivasi. 

Lebih jauh, ketika persepsi ketidakadilan muncul karena perbandingan dengan rekan kerja yang memiliki beban dan hasil kerja serupa namun menerima imbalan yang lebih tinggi, maka perasaan tidak puas itu akan mengakar dan berkembang menjadi niat untuk meninggalkan organisasi.

Namun, perlu dicatat bahwa kompensasi tidak semata-mata soal nominal gaji. Banyak karyawan masa kini menilai benefit non-finansial dengan bobot yang sama pentingnya. 

Fasilitas kerja yang mendukung, suasana kerja yang sehat, jenjang karier yang jelas, hingga pengakuan terhadap hasil kerja menjadi bagian dari kompensasi yang seringkali lebih menentukan tingkat kepuasan karyawan. 

Terlebih dalam konteks generasi milenial dan generasi Z, nilai-nilai seperti fleksibilitas kerja, keseimbangan hidup, dan makna pekerjaan jauh lebih menentukan dalam memilih dan mempertahankan pekerjaan daripada sekadar gaji bulanan.

Seiring dengan itu, muncullah isu lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu work-family conflict. Di era modern ini, batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Teknologi yang memungkinkan bekerja dari mana saja dan kapan saja, meskipun memberikan kemudahan, juga menimbulkan dilema baru: sulitnya memisahkan waktu untuk bekerja dan waktu untuk keluarga. 

Banyak karyawan merasa terjebak dalam situasi di mana pekerjaan menuntut perhatian terus-menerus, bahkan di luar jam kerja. Ketika waktu bersama keluarga terganggu, maka akan muncul konflik batin yang pada akhirnya berdampak pada stres, kelelahan, dan pada kondisi tertentu, keinginan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih "manusiawi".

Work-family conflict tidak hanya dialami oleh kaum perempuan atau mereka yang telah berkeluarga. Anak muda yang merawat orang tua, atau individu yang memiliki tanggung jawab sosial tertentu juga merasakannya. Mereka yang tidak memiliki cukup waktu untuk kehidupan pribadinya akan merasakan bahwa pekerjaan telah menjadi beban, bukan lagi sarana aktualisasi diri. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa mengikis loyalitas terhadap organisasi.

Kompensasi yang rendah dan work-family conflict yang tinggi adalah kombinasi yang mematikan bagi retensi karyawan. Namun, tidak semua karyawan akan langsung pergi begitu saja. Di sinilah peran penting dari komitmen organisasi. Komitmen organisasi adalah ikatan psikologis antara individu dengan tempat kerjanya. Ketika seorang karyawan merasa memiliki keterikatan emosional, merasa dihargai, dan percaya bahwa organisasinya memiliki nilai yang sejalan dengan dirinya, maka ia akan cenderung bertahan walaupun menghadapi tantangan.
Komitmen organisasi ini tumbuh dari pengalaman kerja sehari-hari. 

Kepemimpinan yang adil dan bijaksana, budaya kerja yang mendukung, komunikasi yang terbuka, serta adanya peluang untuk berkembang adalah pupuk yang menyuburkan komitmen. Dalam banyak kasus, karyawan bersedia menerima kompensasi yang tidak terlalu tinggi, atau tetap bertahan meski sesekali mengalami work-family conflict, asalkan mereka merasa dihargai dan memiliki masa depan di organisasi tersebut.

Namun, komitmen bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan atau dibangun dalam waktu singkat. Ia adalah hasil dari akumulasi pengalaman yang konsisten dan positif. Sekali kepercayaan karyawan rusak, maka sangat sulit untuk memulihkannya. Oleh sebab itu, organisasi perlu membangun budaya kerja yang berorientasi pada kesejahteraan karyawan, bukan semata pada target dan profit.

Dalam kerangka yang lebih luas, fenomena turnover intention bukanlah semata-mata urusan internal organisasi. Ia juga berhubungan dengan kondisi sosial dan ekonomi di luar organisasi. Ketika pilihan kerja melimpah, maka turnover intention cenderung meningkat karena karyawan merasa punya banyak opsi. Namun ketika lapangan kerja terbatas, banyak karyawan yang tetap bertahan meskipun tidak puas. Ini menunjukkan bahwa turnover intention adalah gabungan dari faktor internal dan eksternal.

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh organisasi untuk mengurangi turnover intention ini? Pertama, tentu saja dengan memperbaiki sistem kompensasi. Tidak selalu harus menaikkan gaji besar-besaran, tetapi pastikan ada kejelasan, keadilan, dan transparansi dalam pemberian reward. Karyawan yang merasa dihargai, baik secara materi maupun non-materi, akan lebih loyal.

Kedua, organisasi perlu menciptakan sistem kerja yang mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga. Fleksibilitas dalam jam kerja, kebijakan bekerja dari rumah, cuti yang mudah diakses, hingga fasilitas yang mendukung peran ganda karyawan—semua itu menjadi indikator bahwa organisasi peduli terhadap kehidupan pribadi karyawannya.

Ketiga, penting untuk membangun komunikasi dua arah. Karyawan harus merasa bahwa suara mereka didengar, pendapat mereka dihargai, dan keluhan mereka ditanggapi. 

Kepemimpinan yang terbuka dan empatik menjadi kunci utama dalam membangun kepercayaan dan komitmen.
Organisasi juga dapat menginvestasikan sumber daya dalam program pengembangan karier dan pelatihan. Karyawan yang merasa terus berkembang akan melihat masa depan mereka dalam organisasi. Ini memberikan rasa aman dan keyakinan bahwa mereka tidak perlu mencari tempat lain untuk bertumbuh.

Sementara itu, bagi pemerintah dan institusi pendidikan tinggi, isu ini juga sepatutnya mendapat perhatian. Pemerintah perlu mendorong regulasi yang mendorong perlindungan hak karyawan terhadap kompensasi dan waktu kerja yang wajar. Institusi pendidikan, khususnya program studi manajemen dan psikologi, harus memasukkan isu-isu semacam ini dalam kurikulum, agar para calon pemimpin masa depan memahami pentingnya membangun organisasi yang sehat secara relasi.

Di tengah kompetisi bisnis yang semakin ketat, keberhasilan sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar aset yang dimiliki, tetapi juga seberapa kuat ikatan antara organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Loyalitas tidak bisa dibeli, tetapi bisa dibangun. Dan untuk membangunnya, diperlukan kebijakan yang adil, lingkungan kerja yang mendukung, serta kepemimpinan yang manusiawi.

Menjaga karyawan tetap bertahan bukan berarti mengekang mereka, tapi memberikan alasan yang cukup kuat agar mereka merasa tidak perlu pergi. Ketika kompensasi memadai, work-family conflict diminimalisir, dan komitmen organisasi tumbuh kuat, maka turnover intention pun dapat ditekan. Itulah investasi terbaik dalam menjaga keberlangsungan organisasi di masa depan. []

Editor: Muliyadi

*) Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Lhokseumawe, Jurusan Bisnis
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • [Opini] Kompensasi dan Work-Family Conflict terhadap Turnover Invention dengan Komitmen Organisasi

Terkini

Topik Populer

Iklan