Iklan

terkini

[Opini] Pasangan Budak Bercerai Setelah Merdeka

Redaksi
Selasa, Maret 07, 2023, 20:33 WIB Last Updated 2023-03-07T13:33:59Z
Oleh: Juariah Anzib, S.Ag")

Merdeka sesuatu yang selalu dirindukan oleh setiap budak. Tidak ada diantara mereka yang mau menjadi budak selamanya hingga meneruskan keturunan-keturunannya. Namun kondisi membuat mereka tak berdaya melepas diri dari belenggu kehinaan ini. Jangankan untuk menebus kemerdekaannya, nasibnya saja bergantung kepada Sayyid sang tuannya. Mereka menyerahkan hidupnya kepada alam semesta yang mengatur roda kehidupan umat manusia. Bersyukur bagi mereka yang beriman hingga mengenal Allah dan Rasul-Nya sebagai  tempat bernaung. 

Demikian dengan nasib seorang sahabat bernama Mughis. Ia seorang budak yang menikah dengan budak. Maka terjalinlah sebuah rumah tangga yang terdiri dari suami istri budak. Akan tetapi mereka sama-sama sudah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka mengetahui hukum-hukum Islam dan menjalankan ibadah sebagaimana syariat dan  tuntunan agama suci.  

Kisah ini disampaikan Teungku Hasbi Al-Bayuni  di Pengajian Rutin Kaum Ibu Dayah Thalibul Huda Bayu, Aceh Besar, Minggu, (5/3/ 2023). Ia mencontohkan suatu pernikahan antara budak dengan budak di masa Rasulullah saw, sebagai i'tibar dalam kehidupan sehari-hari. 

Barirah seorang budak wanita milik Aisyah istri Rasulullah saw. Dalam perbudakan tersebut ia dilamar dan dinikahi seorang budak bernama Mughis. Mereka menjalani kehidupan berumah tangga dan hidup bersama.                        

Suatu ketika, Barirah si budak perempuan istri dari Mughis dimerdekakan  tuannya Sayyidah Aisyah, sehingga Barirah merdeka. Sejak saat itu ia bukan lagi budak. Sementara Mughis  suaminya masih tetap sebagai budak. Kondisi ini ternyata mengubah suasana menjadi berpaling hati. Sang istri yang sudah mendeka tidak lagi mencintai suaminya yang masih budak. Secara rasional memang manusiawi. 

Dalam ketentuan Islam, jika hal tersebut terjadi, maka pasangan yang sudah merdeka dapat melakukan khiyar, yaitu antara meneruskan atau membatalkan pernikahan mereka. Jika suami yang merdeka, maka ia berhak menentukan kelanjutan pernikahannya. Demikian sebaliknya, jika istri yang merdeka, maka ia pun  berhak menentukan kelanjutan rumah tangganya. Ternyata Barirah berkhiyar untuk menentukan nasib baiknya. Ia ingin melepaskan dirinya  dari suami budak. Barirah memilih menceraikan suami  yang masih budak ketimbang meneruskannya. 

Meskipun hal tersebut tidak dilarang dalam Islam, namun peristiwa itu menyakiti dan melukai hati Mughis, karena ia sangat mencintai istrinya Barirah. Tetapi ia tak kuasa mencegah dan melawan takdir. Hati perih bak diiris sembilu hingga menguraikan air mata. Kemerdekaan Barirah telah menyudahi percintaan dan kisah kasih mereka. 

Setelah Barirah menceraikan suaminya, merekapun berpisah tempat tinggal. Namun cinta yang melekat di hati Mughis membuatnya tersiksa batin. Ia mengikuti kemanapun Barirah pergi, meskipun hanya sekedar melihatnya dari kejauhan. Sungguh sangat menyayat hati, hingga Rasulullah saw turun tangan menengahinya. Melihat kondisi Mughis membuat Rasulullah iba dan sedih, sehingga beliau menyampaikan hal tersebut kepada pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib. 

Hamzah menyarankan  Rasulullah saw untuk membujuk Baghirah agar rujuk kembali. Hingga suatu hari baginda nabi menemui Barirah dan menceritakan kondisi dan perihal Mughis yang menyedihkan. Beliau menyarankan agar Barirah mempertimbangkan kembali  keputusannya. Lalu Barirah bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, apakah ini suatu perintah atau pertimbanganmu?" Maka beliau menjawab, "Ini bukan perintah." Kemudian Barirah berkata,  "Kalau bukan perintah, maka aku tetap pada pendirianku."

Mendengar jawaban Barirah, Rasulullah tidak dapat  berbuat banyak, karena hal tersebut bukanlah kesalahan  dalam syariat. Itu semua kerkenaan dengan hati nurani dan perasaan. Beliau menyerahkan urusannya  kepada Allah dan Barirah sendiri. Rasulullah saw memahami bahwa perasaan seseorang tidak dapat dipaksakan. Barirah menceraikan suaminya dengan alasan sudah tidak memiliki perasaan cinta terhadapnya.

Akhirnya Mughis harus merelakan cintanya dan bersabar dalam cobaan. Sebagai orang beriman, ia yakin semua yang terjadi atas kehendak Allah Swt. Mungkin itu salah satu bukti cinta, mengikhlaskan dan  membiarkan kekasih hatinya bahagia meskipun bukan bersamanya. Belajar menerima kenyataan dan takdir untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah sang yang Maha  menganugerahkan rasa cinta. Meskipun pahit namun  pasti ada hikmahnya. Kesedihan membawa Mughis lebih dekat kepada Rabbnya dengan sabar dan tabah. 

Untuk itu, mari saling mengingatkan dalam shalat dan sabar. Semoga Allah memberikan yang terbaik diantara yang baik. []

*) Penulis adalah penulis Buku Menapaki  Jejak Rasulullah dan Sahabat
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • [Opini] Pasangan Budak Bercerai Setelah Merdeka

Terkini

Topik Populer

Iklan