Oleh: Hamdani, SE.,MSM
Menjelang pemilihan senat di kampusku periode ini, ada hal yang berbeda yang saya alami dan rasakan. Bedanya adalah tak ada tawaran minum kopi apalagi makan siang gratis. Karena memang (kata orang) tak ada makan siang gratis hehe..
Tetapi beda halnya seperti pada saat menjelang pemilihan senat periode lalu, nyaris tiap hari ada saja yang ajak saya ngopi, dari kawan-kawan dosen yang berbeda yang akan maju jadi anggota senat.
Entah dimananya yang salah? Atau mungkin ini akibat jauh-jauh hari saya sudah menyatakan minat untuk maju menjadi anggota senat? Entahlah.
Tapi akibat dari pernyataan saya tersebut, akhirnya kawan-kawan dosen jadi tak berminat dan enggan ajak saya minum kopi, apalagi traktir saya. Karena sudah pasti rugi, karena suara tak kan bertambah. Begitulah politik traktir kopi menjelang suksesi.
Mungkin karena posisi saya dianggap akan maju, maka sudah menjadi adat dan kebiasaan, justru saya lah yang harusnya ngajak atau traktir kawan-kawan untuk minum kopi. Kayak politisi di luar sana yang mulai ramah dan dermawan menjelang Pemilu. Begitulah.
Tapi usaha-usaha seperti itu (mungkin) tak akan saya lakukan, karena saya merasa malu hati kalau ajakan traktir saya karena ada pamrih atau embel-embel, yakni "barter" dengan suara untuk calon senat. Karena saya percaya dan yakin, jika kelak saya mencalonkan diri, dan kawan-kawan dosen memilih, maka itu karena mereka yakin dan percaya terhadap kapasitas saya.
Selain itu, selain ajakan ngopi juga ada hal yang berbeda dari periode lalu. Dulu banyak yang ajak saya berdiskusi tentang politik kampus, tentang peluang dan tantangan.
Mereka mungkin anggap saya adalah mitra diskusi yang baik, karena sebagai seorang yang juga berprofesi sebagai wartawan, saya juga mungkin dianggap "banyak tahu".
"Jika si A, si B, dan si C kita naikkan ke senat, maka direkturnya si Anu, sebaliknya jika si D, si E, dan si F yang dipilih jadi senat, maka direkturnya adalah si Ano. Bla...bla," ujar sang pengamat ini mencoba menganalisis.
Kadang sayapun mendengarnya dengan takzim, tak pernah mau saya membantahnya. Karena kalau dibantah, maka besok dan lusa sang pengamat tak kan pernah lagi mau ajak saya berdiskusi.
Tapi walaupun begitu, saya belum memutuskan untuk maju atau tidak. Kadang saya hanya cek ombak, melihat reaksi orang lain. Lagian belum ada kawan-kawan dosen yang menyatakan dukungan buat saya, artinya secara kapasitas saya belum layak atau dianggap tak layak. Entahlah.
Lagipula, belum seorangpun secara resmi saya mintakan dukungan. Bahkan mungkin jika saya mendaftar, saya takkan berani minta dipilih. Malu hati saya, kalau minta-minta. Juga sangat malu hati untuk meminta restu ke pimpinan, seperti kabar kabur yang saya dengar dilakukan oleh kawan-kawan yang berminat naik ke senat.
Biarlah semua berjalan seindah warna asli, lagipula saya juga tak yakin bahwa jika terpilih jadi anggota senat, saya bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Justru saya melihat senat hanya sekedar pelengkap rutinitas suksesi dalam pemilihan direktur, selebihnya senat seperti "tanpa kuku".
Paling-paling jika suksesi sudah usai, gerbong senat yang memilih calonnya berhasil diantar pada kursi kekuasaan akan mendapatkan pembagian jabatan sebagai tanda terimakasih. Selebihnya hanya duduk manis atau memilih menjadi "oposisi yang tak bergigi". Semuanya serba tanggung.
Terakhir, saya mohon maaf jika tulisan ini (mungkin) ada yang tersinggung atau ada pihak-pihak yang tak nyaman, tapi tulisan ini adalah sudut pandang pribadi saya. Bisa saja benar demikian, mungkin juga salah, karena sebagai "hamba merdeka", saya bebas berpendapat dan menjadi tanggung jawab pribadi saya terhadap setiap ucapan saya. Demikian. []
*) Penulis adalah Jurnalis dan juga berkhidmat sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi.
DARI REDAKSI: Semua tulisan pada Rubrik SUDUT PANDANG bukanlah lah produk jurnalistik, juga tidak mewakili pandangan Redaksi Juang News. Untuk itu, setiap tulisan yang dimuat di rubrik SUDUT PANDANG itu menjadi tanggung jawab pribadi si penulis. Karena sesuai nama rubrik, semua konten dari tulisan tersebut, merupakan opini pribadi dari sudut pandang personal penulis. Demikian. []